Berlebaran Dengan Semangat Pragmatisme
Ramadhan merupakan bulan suci bagi umat muslim
yang mana di bulan tersebut umat muslim percaya dosa akan diampuni, pahala akan
dilipat gandakan serta semua amalan akan diberikan nilai kebaikan. Tidak hanya
itu, seketika dalam waktu satu bulan atau 28 hari efektif umat muslim akan
ringan tangan untuk membantu sesamanya, akan mudah untuk membuka dompet dan
memberikan kepada yang membutuhkan tanpa melihat agama, suku dan ras.
Panti-panti asuhan juga dipenuhi oleh relawan-relawan
yang sengaja mengumpulkan donasi untuk anak asuh di panti asuhan tersebut.
Semua aktfitas yang berkaitan dengan bulan Ramadhan akan dinilai positif oleh
sebagian besar umat. Di ujung bulan tersebut umat muslim akan merayakan
‘berbuka besar’ yang diawali dengan Idul Fitri atau biasa kita sebut dengan
istilah lebaran.
Lebaran sudah menjadi sebuah tradisi dalam
aktifitas rutin umat muslim seluruh dunia. Alih-alih merayakan Idul Fitri dan
berlebaran, kita malah terjebak dalam praktek semangat pragmatisme lebaran.
Beberapa tradisi saat lebaran bersalaman-salaman antar tetangga yang mana
anak-anak kecil berlomba berkunjung dari
satu rumah ke rumah yang lain untuk mendapatkan angpau yang mungkin
berisi 2000 hingga 5000 rupiah. Silaturahmi antar sanak saudara yang disertai
acara makan-makan serta rangkaian acara halal bi halal yang juga sudah
mendarah daging di tradisi umat muslim Indonesia.
Dengan sekian banyak kegiatan positif yang
ada, kadang kala kita tidak melewatkan suatu hal yang lebih subtantif. Idul
Fitri merupakan gerbang dimana umat muslim yang melakukan puasa dapat diketahui
lulus atau tidaknya di ‘ujian’ Ramadhan. Hakikatnya Ramadhan menjadi tempat
penggemblengan untuk lebih peka terhadap sekitar kita.
Sayangnya kepekaan kita hanya berlangsung satu
bulan saja. Ketika Ramadhan berlalu, berlalu juga kepekaan sosial kita terhadap
sekitar. Lebih miris lagi sebelum Bulan Ramadhan pergi umat muslim sudah
melakukan praktek-praktek yang mengindikasikan ketidak berhasilannya dalam
‘ujian’ Ramadhan.
Tradisi berbaju baru tidak ketinggalan atau baju
seragam satu keluarga. Dengan seabrek ‘kebutuhan’ tersebut, seorang bapak harus
mengerutkan jidad untuk mencari sumber dana, seorang ibu harus berjibaku dengan
rancangan pengeluaran. Hingga akhirnya nilai-nilai dalam Bulan Ramadhan tidak
lagi dihiraukan. Nilai sosial yang seharusnya semakin terasah malah tumpul jika
semakin mendekati lebaran. Hal subtansi yang mengarahkan manusia untuk lebih
peka melihat sekitar, lebih mau mengulurkan tangannya sudah hilang seketika bak
asap dihembus angin.
Praktek pragmatisme ini sudah menjamur di
kalangan muslim Indonesia. Pesan nabawiyah yang seharusnya menjadi
contoh sudah tidak berlaku. Setiap orang dipaksa untuk mengeluarkan uang
melebihi bulan-bulan lainnya dan puncak pengeluarannya ketika mendekati
lebaran. Hal tersebut berdampak pada kondisi paska lebaran yang mana mereka
harus membayar hutang-hutan atas uang yang dipinjam untuk persiapan lebaran
tersebut.
Praktek pragmatisme ini dapat ditangani dengan
mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh Rasulullah. Tidak berlebihan,
mengeluarkan sesederhana mungkin dengan tidak lupa mengeluarkan zakat sebagai
pembersihan harta serta pengaplikasian nilai sosial. Selamat berlebaran dengan
semangat lebaran yang lahir dari semangat Ramadhan dan bukan membawa semangat
pragmatis.