Baitul Maal: Solusi Konkrit Pengentasan Masalah Kemiskinan Indonesia

Permasalahan kemiskinan yang semakin rumit, serta data yang menunjukkan angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat menjadikan hal ini permasalahan yang komplek dan masih belum terselesaikan. Kebutuhan manusia yang banyak membutuhkan perekonomian yang tinggi, namun hal tersebut tidak didukung oleh pemerintah dalam pemenuhannya. Salah satu cara yang digunakan oleh manusia adalah dengan menyimpan hasil kerjanya yang biasa disebut bank.

Namun, keberadaan bank yang sudah ada bukan memberikan keuntungan pada masyarakat itu sendiri. Sistem yang dikenal oleh bank adalah sistem riba yang sebenarnya mengaburkan keuntungan bagi nasabahnya. Sejak lama Islam telah hadir dengan konsep baitul maal yang berfungsi untuk membagi hasil yang sama bagi nasabah maupun peminjam ataupun pemodal. Selain itu juga sebagai tempat untuk menyalurkan infaq, zakat dan shodaqoh yang sejatinya menjadi kewajiban setiap manusia. Kurang berbaginya setiap manusia bagi lainnya menjadikan ketimpangan sosial dan ketimpangan perekonomian yang kemudian mengakibatkan berbagai permasalahan di Indonesia.

Kemiskinan dan Pengangguran Permasalahan Klasik Indonesia

Sebuah negara mempunyai kewajiban untuk terus mengurus perekonomian negaranya sendiri guna keberlangsungan berjalannya negara itu. Indonesia sebagai sebuah negara juga membutuhkan hal tersebut untuk meneruskan perjuangan pahlawan terdahulu yang telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara berkedaulatan. Sistem ekonomi yang berada di indonesia merupakan sistem yang seharusnya menguntungkan bagi seluruh masyarakat indonesia dengan tidak memihak ke salah satu pihak tertentu.

Pemandangan perekonomian yang kian hari kian terlihat timpang menjadikan bangsa ini seakan menjadi ‘gudangnya’ para masyarakat miskin yang untuk kebutuhan sehari hari saja belum bisa terpenuhi. Sistem perekonomian Indonesia yang merosot bahkan menjadikan rupiah pernah anjlok hingga angka 15.000 rupiah. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)[1], menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia pada triwulan III tahun 2015 hanya tumbuh 4,73 persen padahal pada triwulan III tahun 2014 sebesar 4,92 persen. Kondisi perekomian yang melambat berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. BPS melansir angkatan kerja pada tahun 2015 122,4 juta orang.

Angka ini menunjukkan bahwa angkatan kerja dibandingkan Agustus 2014 bertambah sebanyak 510.000 orang. Penambahan angkatan kerja tersebut belum bisa terserap oleh dunia kerja yang berakibat pada meningkatnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pada Agustus 2014 angka TPT sebesar 5,94 persen, angka tersebut naik menjadi 6,18 persen pada Agustus 2015. Tidak hanya tingkat pengangguran yang tinggi namun juga tingkat kemiskinan di Indonesia yang kian hari kian tinggi.

Pada bulan Maret 2015 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan) mencapai 28,59 juta orang (11,22%)[2]. Angka tersebut merupakan pertambahan dari tahun sebelumnya yaitu 10,96 persen. Penduduk miskin pada perkotaan meningkat pada 2015 menjadi 8,29 persen dibanding September 2014 sebesar 8,16 persen. Angka tersebut mempresentasikan kenaikan jumlah penduduk miskin di daerah pertaan sebanyak 0,29 juta orang (yang awal 10,36 juta orang pada September 2014 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2015).

Senada dengan perkotaan, jumlah penduduk miskin di pedesaan juga bertambah. Angkanya naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015. Selama periode September 2014-Maret 2015, kemiskinan di daerah pedesaan naik sebanyak 0,57 juta orang (dari 17,37 juta orang pada September 2014 menjadi 17,94 juta orang pada Maret 2015). Hal tersebut dipicu oleh variabel komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan.

Data tersebut menjelaskan betapa miskinnya masyarakat Indonesia ditengah banyaknya sumber daya alam yang sebenarnya bisa dieksplor oleh negara kita sendiri. Kebijakan perekomian yang semakin tak jelas menjadikan perekonomian Indonesia tidak kunjung stabil. Kemiskinan, pengangguran dan kejahatan sangat berkorelasi positif. Beberapa kasus korupsi yang mewarnai dunia pertelevisian juga menambah beban negara untuk mengatasi permasalahan kemiskinan serta kelemahan ekonomi ini.

Fenomena Bank VS Baitul maal

Bergulirnya kemiskinan di masyarakat bisa disebabkan oleh banyak hal, salah satu diantara sebab yang berhubungan dengan hal tersebut adalah tempat penyimpanan keuangan masyarakat saat ini. Jika bisa dijelaskan, bank merupakan tempat penyimpanan uang bagi mereka yang memiliki. Lembaga keuangan yang ada di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu Lembaga Keuangan Bank (LKB) dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Akan tetapi yang lebih populer di telinga masyarakat adalah bank dan koperasi, meskipun dalam pembagiannya begitu banyak macam-macam dari lembaga keuangan itu sendiri. Misalkan dari lembaga keuangan bank ada Bank Sentral, Bank Umum dan BPR. Dari Lembaga Keuangan Bukan Bank contohnya adalah pasar modal, pasar uang dan valas (valuta asing), koperasi simpan pinjam, pegadaian, asuransi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Bank maupun koperasi sudah banyak yang berdiri  di tingkat pedesaan sampai perkotaan. Lembaga keuangan ini tidak bisa terlepas dari proses kegiatan ekonomi. Sedangkan yang kita ketahui, ekonomi merupakan usaha atau kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari tingkat produksi, distribusi dan konsumsi pada barang atau jasa. Mengoptimalkan hasil (uotput) serta meminimalisir biaya produksi yang ada.

Menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan (Kasmir, 2000)[3] yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Secara umum bank mempunyai beberapa fungsi dan peranan.

Di antaranya adalah menghimpun, penyalur dana dan pelayanan jasa dalam mengemban tugas sebagai ‘pelayan lalu lintas pembayaran uang’. Hingga kini peran bank begitu besar sehingga hampir tidak bisa dihindarkan dan dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Seperti kegiatan menghimpun dan mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Seakan-akan bank tidak bisa terlepas dari perilaku ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, ada satu hal yang menjadi kekhawatiran para masyarakat kita dengan keberadaan bank tersebut. Yaitu dengan diberlakukannya sistem bunga. Kita mengetahui bersama jika hal tersebut bunga sudah lazim digunakan hampir di setiap bank yang ada di setiap negara. Bunga dapat disamaartikan dengan riba.

Wiyono (2005)[4] menjelaskan, riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa'), dan membesar (al-'uluw). Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi pinjam meminjam, bahkan tambahan dalam transaksi jual beli yang dilakukan secara batil juga dapat dikatakan riba. Padahal riba dalam Islam sangat dilarang keras. Hukumnya pun sudah jelas bahwa itu haram. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah : 275:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَيَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَماَ يَقُوْمُ الَّذِى يَتَخَبَّتُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَلُواْ إِنَّماَ البَيْعُ مِثْلُ الرِّباَ وَأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جاَءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فاَنْتَهَى فَلَهُ ماَ سَلَفَ وَ أَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَ مَنْ عاَدَ فَأُلَئِكَ أَصْحاَبُ النَّارِ هُمْ فِيْهاَ خاَلِدُوْنَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah SWT. Dan barang siapa yang kembali (kepada riba) maka orang itu adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 275).

Telah banyak studi yang mengungkapkan bahwa sistem riba sangat tidak menguntungkan. Bahkan apabila hal tersebut terjadi lebih lanjut, maka akan menimbulkan dampak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. Dan ujung dari permasalahan ini adalah tidak stabilnya aktifitas ekonomi di negara Indonesia. Selanjutnya Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics[5], menyebutkan, bahwa pengharaman riba dalam ekonomi, setidaknya disebabkan oleh empat alasan;

Pertama, sistem bunga atau riba telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu, apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul. Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bangkrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bangkrut seperti sudah jatuh ditimpa tangga pula. Bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?

Kedua, hal ini menyebabkan berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh. Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.

Ketiga, sistem bunga akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperoleh akibat tingginya tingkat bunga.

Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistem bunga secara lambat-laun, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi rakyat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistem bunga.

Sekiranya sangat jelas kerugian-kerugian dan dampak negatif yang diakibatkan oleh sistem bunga atau riba. Seluruh lapisan masyarakat harus mengetahui akan hal itu. Untuk mengatasi semua ini maka dibutuhkan sebuah sistem yang dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ada. Baitul maal wat Tamwil atau BMT hadir ditengah kekacauan sistem perekonomian yang hampir mendekati kapitalis. Krisis keuangan pada tahun 2008 sangat dirasakan oleh banyak negara termasuk Indonesia, perusahaan besar, UKM (Usaha Kecil Menengah) sektor ini dapat mendukung kelancaran pembangunan di negara, namun krisis keuangan yang terjadi pada tahun tersebut menghambat lajunya kesejahteraan rakyat juga.

Masyarakat kalangan menengah ke bawah membutuhkan sistem yang tentunya menguntungkan bagi mereka. Agar ketika masyarakat berinvestasi, mereka berani meminjam modal atau memberikan modal kepada lembaga keuangan yang tidak menerapkan sistem bunga. Sehingga kekhawatiran-kekhawatiran yang disebabkan bunga tidak akan pernah terjadi. Keuntungan BMT dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, dimana lembaga keuangan lain atau lembaga keuangan konvensional masih jarang yang menyentuh kalangan ekonomi menengah ke bawah, serta yang menjangkau daerah pedesaan seperti pada sektor pertanian dan sektor lainnya.

Konsep BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah diharapkan mampu memberikan alternatif pelayanan jasa berupa simpan pinjam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist. Dalam pengembangannya BMT mampu meningkatkan kemandirian daerah melalui mudharabah, musyarakah, murabahah tanpa bunga yang menghambat akses pada masyarakat menengah ke bawah. Hadirnya BMT mestinya disambut penuh suka cita karena keunggulan-keunggulan seperti yang disebutkan di atas. Karena  untuk menopang jalannya roda perekonomian dan menguatkan sistem ekonomi kerakyatan. 

Penguatan sektor ekonomi harus dimulai dari bawah. Pondasi-pondasi perekonomian dibangun sebaik dan sekuat mungkin. Apabila terjadi krisis ekonomi seperti yang sering terjadi, dampak yang ditimbulkan tidak sampai kepada kalangan menengah ke bawah. Jadi mereka tidak akan merasakan perbedaan atau kesenjangan yang begitu signifikan. BMT memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada para wirausahawan untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Salah satunya melalui UKM (Usaha Kecil dan Menengah). BMT selaku lembaga keuangan mikro menjadi alternatif bagus untuk kelangsungan usaha kecil terutama yang berada di sektor pedesaan.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam memberikan layanan jenis usaha pengolahan dana kepada masyarakat desa secara mandiri. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis produk yang dihasilkan adalah BMT yang pendiriannya dilandaskan Al-Qur’an. Di antaranya adalah pembiayaan Mudharabah atau pembiayaan-pembiayaan yang diberikan kepada nasabah (para pengusaha menengah kebawah atau pengusaha kecil) dengan cara kerjasama kemitraan antara pihak yang memberi modal yaitu BMT dan pihak yang memiliki keahlian dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana yang diberikan atau orang yang menjalankan usaha (para pengusaha). Penyaluran dana kepada nasabah dengan cara kemitraan antara pihak yang memiliki keahlian bertujuan terjalinnya hubungan yang baik antara pemberi modal (BMT) dan penerima modal (para pengusaha).

Dengan sebelumnya mengadakan perjanjian apabila dari usaha yang dijalankan oleh penerima dana memperoleh keuntungan, maka masing- masing berhak atas keuntungan tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Sebaliknya jika usaha yang dikelola atau dikerjakan oleh penerima dana atau pengusaha mengalami kerugian maka kerugian tersebut juga ditanggung bersama antara kedua belah pihak yaitu BMT dan nasabah.

BMT memberikan penawaran produk penghimpunan dana kepada masyarakat dengan memberikan cara-cara bagaimana menentukan dan menghimpun porsi bagi hasilnya serta memberikan kepercayaan penuh kepada penerima modal atau nasabah untuk dapat memanfaatkan pemberian modal (fasilitas) sebagai modal untuk mengelola usaha mereka. Namun guna mengurangi resiko mengalami kerugian, BMT memberikan batasan-batasan mengenai jenis usaha, pengalokasian dana serta tempat dimulainya usaha para nasabah atau penerima dana.

Jika kita kembali menilik perjalanan Islam sebagai agama yang paling terakhir, maka Islam mengajarkan bahwa setiap orang yang memiliki kelebihan harta wajib menginfakkan, menzakatkan hartanya kepada masyarakat sekitarnya yang tidak mampu. Namun, tampaknya hal tersebut belum terjalankan dan belum dipahami oleh seluruh masyarakat muslim. Rasulullah dalam masa kepemimpinannya, menjadikan suatu badan yang kemudian dinamakan Baitul maal.

Pertama kali baitul maal dirumuskan dan didirikan oleh Rasulullah sendiri dengan pemberian tugas kepada beberapa sahabat tertentu seperti pencatatan, penghimpunan zakat hasil pertanian, tugas pemeliharaan zakat hasil ternak dan juga pendistribusiannya. Hal tersebut membuktikkan bahwa pada zaman Rasul sudah ada yang namanya baitul maal walaupun belum ada institusi yang baku yang mengurus hal tersebut.

Pada zaman Rasululullah baitul maal diadakan ketika kaum muslim mendapatkan harta rampasan perang pada perang badar (Zallum, 1983). Pada zaman ini, baitul maal merupakan pihak (al jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendataan atau pengeluaran. Setiap harta yang masuk entah dari harta rampasan perang atau sedekah dan infaq selalu habis dibagikan kepada kaum muslimin dan untuk pemeliharaan urusan kaum muslimin. Bahkan dalam sebuah cerita seorang sahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi menyatakan bahwa Rasul tidak pernah menyimpan harta umatnya lebih dari satu malam.

Islam telah memberikan jalan untuk tidak mendekati riba, namun dengan ketidakpahaman manusia yang akhirnya lebih memilih bank dari pada baitul maal untuk tempat penyimpanan uang mereka. Perekonomian masyarakat yang menengah ke bawah yang makin terpuruk malah tidak diberikan kesempatan untuk berusaha meningkatkan perekenomian mereka.

Negara terkesan ‘absen’ dalam mengurusi hal ini, proyek-proyek besar yang dilakukan namun tidak menguntungkan masyarakat dipentingkan. Baitul maal yang hakikatnya dapat memeratakan ekonomi masyarakat serta menjadikan perekonomiannya tidak timpang dilihat oleh masyarakat awam sebagai instansi yang tak membawa keuntungan. Konsep infaq, zakat dan shodaqoh yang ditawarkan Islam melalui baitul maal dapat menstabilkan perekonomian masyarakat saat ini.



[1] Diakses melalui www.koransindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2015-11-09 (Ekonomi Melambat, Pengangguran dan Kemiskinan Meningkat pada 18 Maret 2016.

[2] BPS.2013.Jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2013.Online : http://www.bps.go.id/.

[3] Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan.Jakarta:Rajawali Press.

[4] Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: Grasindo.

[5] A. M. Sadeq. “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, 1989, hlm 27-28

Share this post