Perempuan Jawa Sarat Nilai-Nilai Budaya Jawa


Berbicara tentang perempuan adalah suatu perbincangan yang menarik. Ada sebuah pepatah dari Carol Tavris yang berbunyi, “Yang paling bersahabat dengan Agama adalah perempuan, pun yang paling tidak bersahabat dengan perempuan adalah agama”.


Perempuan memang memiliki magnet yang cukup tinggi bagi kaum laki-laki. Bahkan dalam Agama Islam perempuan saleh adalah perhiasan dunia. Di balik itu semua, perempuan Jawa dari zaman dahulu sarat akan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang sampai saat ini masih ada yang.

Hegemoni Ungkapan, Sebutan, dan Adagium

Hegemoni merupakan akar kata hegeisthai (Yunani), berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Tokoh hegemoni sendiri ialah Marxis Italia antonio Gramsci (1891-1937).

Gramsci (dalam Ratna, 2010: 182) memaparkan bahwa hegemoni bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga wacana yang memiliki kekuatan sebagaimana dimiliki secara fisik. Wacana justru dianggap dominan sebab keseluruhan bentuk fisik dapat diubah ke dalam wacana, sebagai bentuk yang ‘diceritakan’.

Ungkapan, sebutan, dan adagium dalam bahasa Jawa yang menyudutkan posisi dan peran perempuan Jawa pada dasarnya adalah sebuah kuasa (hegemoni) atas wacana yang dibangun lewat sosialisasi. Sosialisasi itu muncul lewat adanya ungkapan para tokoh dan panutan masa lalu yang memunculkan identitas perempuan Jawa hingga terpojokkan. Panutan ataupun tokoh masa lalu itu banyak dari kaum patriark (kaum laki-laki atau bapak-bapak).

Ungkapan, sebutan, dan adagium yang muncul dan berkembang akhirnya membuat perempuan Jawa pada saat itu mendapatkan identitas atau label baru. Salah satu identitas perempuan Jawa yakni yang perannya sebagai ibu rumah tangga senada dengan apa yang diutarakan oleh Arief Budiman.

“Tujuan perempuan seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga sesudahnya hampir seluruh kehidupannya dilewatkan dalam keluarga. Dalam keadaan ini perempuan jadi tergantung pada laki-laki secara ekonomis karena pekerjaan yang dilakukan di rumah tidak menghasilkan gaji, dengan ditambah lagi, perempuan seakan-akan dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang kepribadiannya,” (Arief Budiman, 1985: 3).

Konsep budaya Jawa memang menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah dan butuh perlindungan. Tak pelik hal ini membuat posisi perempuan menjadi sub ordinat dari kaum laki-laki.

Muncullah sebutan dalam bahasa Jawa yang menambah posisi perempuan Jawa tersub ordinat. Konco wingking salah satu sebutan bagi perempuan Jawa di mana artinya ialah orang yang selalu berada di belakang.

Konco wingking juga dapat diartikan lebih dalam bahwa seorang perempuan tugasnya hanya sebagai teman laki-laki (suaminya) yang posisinya berada di belakang. Arti di belakang ialah perempuan Jawa posisinya atau perannya berada di dapur yakni memasak.

Sebutan konco wingking hampir sama maknanya dengan sebutan 3M yakni masak (memasak), macak (berdandan), dan manak (melahirkan). Pada makna kata masak menempatkan posisi dan peran perempuan berada di belakang yakni di dapur yang tugasnya memasak untuk keluarganya.

Pada sebutan 3M di atas, dalam sebuah keluarga tentunya membuat peran perempuan hanya terbatas pada kewajiban untuk memasak, berias, dan melahirkan. Oleh karenanya ruang gerak perempuan menjadi terisolir pada soal dapur dan soal menyenangkan suami di atas ranjang.

Perempuan masa itupun mendapat adagium bahasa Jawa yang cukup ekstrem. Adagium Jawa itu berbunyi, Yen awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek.” Artinya yakni kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut.

Makna yang tersirat dari adagium di atas sangatlah ekstrem. Bagaimana tidak, perempuan pada masa itu jika siang hari berperan sebagai pembantu, sedangkan pada malam hari sebagai “penghangat” tubuh suami. Makna yang lain mengharuskan perempuan Jawa masa dulu harus manut (taat) dan sendiko dhawuh (siap menerima perintah) rela diperlakukan sesuai kehendak suami.


Aksi Nilai-nilai Perempuan Budaya Jawa

Perempuan Jawa pada zaman dulu memang dalam satu sisi memiliki kisah yang kurang menyenangkan. Identitas perempuan terasa sekali diletakkan di bawah pria. Di sisi lain, perempuan Jawa pada zaman dulu juga dibangun akan nilai-nilai luhur budaya Jawa.

Talcott Parsons (dalam Sarwono, 1993: 19) berpendapat bahwa aksi (action) itu bukanlah perilaku (behavior). Aksi merupakan tanggapan atau respons mekanis terhadap suat stimulus, sedangkan perilaku adalah suat proses mental yang aktif dan kreatif. Parsons memaparkan bahwa yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menurunkan dan mengatur perilaku.

Jelas bahwa tindakan individu maupun kelompok dapat dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing. Perempuan Jawa masa itu dibangun nilai-nilai luhur budaya Jawa yang terdapat dalam sistem sosial berupa norma-norma.

Perempuan sebagai istri diharapkan memiliki nilai-nilai budaya Jawa yang dipaparkan sebagai berikut. Pertama, setya merupakan salah satu kriteria ideal perempuan Jawa adalah sifat setia yang harus ada, terutama kesetiaan kepada suami.

Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang menganggap suami bukan semata-mata menjadi suaminya ketika hidup di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Tercermin ungkapan Jawa yang jelas menyebutkan kesetiaan sosok perempuan terhadap suaminya. “Swarga nunut neraka katut,” yang memiliki arti seorang istri mengikuti suami ke surga maupun ke neraka.

Perempuan Jawa selalu setia kepada pasangannya dalam kondisi kehidupan yang bagaimanapun, baik dalam kondisi hidup penuh kesusahan dan terlebih dalam kondisi yang serba menyenangkan. Digambarkan secara jelas sikap setia perempuan Jawa melalui ungkapan, “Urip rekasa gelem, mukti uga bisa, sabaya mukti sabaya pati.” Artinya; hidup dalam kesusahan bersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati dalam suka maupun duka.


Kesetiaan yang ditunjukkan oleh perempuan Jawa zaman dahulu terhadap pasangannya nampak ketika pasangannya telah meninggal dunia. Ketika ditinggal suaminya, maka sang istri tersebut akan turut ‘mati’ bersama suaminya. Kata ‘mati’ yang dimaksudkan bukanlah mengacu pada makna yang sebenarnya, namun kata itu bermakna mati keinginan untuk berumah tangga lagi. Perempuan Jawa itu akan tetap menjanda hingga akhir hayatnya untuk kemudian bisa bersama-sama lagi dengan suaminya di alam akhirat.

Kedua, bekti yang berati berbakti. Saat prosesi pernikahan Jawa pasangan suami istri (pasutri) melakukan upacara salah satunya yakni mijiki. Mijiki yaitu membasuh serta mengelap kedua kaki suaminya. Ini merupakan simbol atau perlambang, bahwa perempuan akan senantiasa bekti mring kakung atau berbaki kepada suaminya dalam berumah tangga.

Sikap bekti ini mempunyai makna dan penjabaran yang sangat luas. Satu di antaranya adalah sikap sang perempuan untuk senantiasa menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Dia tidak akan membiarkan atau bahkan bersedia melakukan perbuatan tercela yang pasti akan meruntuhkan harga diri dan kehormatannya. Perzinaan atau juga perselingkuhan akan senantiasa dijauhi oleh perempuan Jawa, karena tindakan itu merusak bekti nya kepada suami.

Ketiga, mituhu yang bermakna setia akan keyakinan suaminya. Menurut Prawiroatmojo (1985: 367) mituhu dapat diartikan mau memperhatikan dan juga meyakini akan kebenaran ‘didikan’ suaminya. Perempuan harus memiliki sikap mituhu, agar cinta dan kasih sayang suaminnya senantiasa tercurah kepadanya.

Perempuan yang mituhu akan selalu mengedepankan kesetiaan kepada suami dan juga menjalankan segala perintah suaminya, selama perintah itu mengandung nilai kebenaran. Jika perintah tersebut tidak bernilai kebenaran, perempuan dapat menolaknya dengan mengemukakan alasan yang baik sehingga kondisi harmonis keluarga tetap dapat dipertahankan.

Keempat, mitayani berarti dapat dipercaya. Untuk dapat bersikap mitayani, terlebih dahulu seorang perempuan harus bersih dan jujur serta terbebas dari kesalahan yang fatal. Seorang perempuan yang tidak bersih dan tidak jujur dapat melunturkan kepercayaan suami kepadanya, terlebih jika sang perempuan pernah melakukan kesalahan yang fatal.

Sebuah keluarga dibangun oleh beberapa fondasi, salah satunya yang sangat penting adalah rasa percaya dan mempercayai di antara suami istri. Suaminya dapat lebih tenang dalam bekerja bilamana sang istri bersikap mitayani, karena dengan demikian kepercayaan yang diberikan oleh suami kepadanya dapat dijalankan dengan baik (amanah).

Kelima, gemi, nastiti, dan ngati-ati. Istilah tersebut berkaitan erat dengan tata nilai kehidupan sehari-hari perempuan Jawa. Secara harfiah, gemi mengandung pengertian afektif rasa memiliki, nastiti memiliki arti cermat dan teliti, dan ngati-ati berarti mempunyai sikap hati-hati.

Nastiti memiliki makna berhati-hati sekali. Sikap nastiti ini berhubungan erat dengan penggunaan harta benda. Untuk mampu bersikap nastiti, dituntut bersifat jujur, dapat dipercaya. Seorang perempuan dalam hal menggunakan harta benda keluarganya, dituntut bersikap hati-hati. Pengeluaran uang hendaklah sesuai dengan ‘keputusan’ keluarganya, sehingga ia dapat mempertanggung-jawabkan ketika suami memintanya.

Keenam, narima berarti menerima. Arti makan kata narima lebih dalam ialah menerima dengan bersyukur, ikhlas, dan telah merasa puas. Sifat ini pula yang menjadi salah satu kriteria perempuan Jawa yang ideal. Oleh karena itu perempuan Jawa menerima dengan ikhlas apa pun pemberian suaminya. Dengan sikap narima dan setia, perempuan Jawa yang ideal mampu hidup dalam kondisi apa pun. Ia dapat beradaptasi dalam suasana dan kondisi yang serba menggembirakan ataupun dalam kondisi yang serba susah.

Ketujuh, gemati yang artinya mampu dan pintar memelihara atau menyelenggarakan segala sesuatu dengan baik. Sebagai perempuan idaman, sikap perempuan ini begitu menawan karena ia pintar menjalankan perannya selaku ‘ratu’ rumah tangganya. Selaku istri, ia melimpahkan cinta dan kasih sayangnya kepada suami hingga amat terkesan ia pintar merawat dan menjaga pasangan hidupnya tersebut.

Naluri serta perasaan keibuan mengharuskan ia pintar mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Begitu pula dengan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah rumah tangganya dapat dipelihara dengan baik dan ia akan senantiasa siap untuk membenahi segala sesuatu di dalam rumah tangganya yang dirasakan kurang atau belum selesai.

Kedelapan, merak ati yang artinya perempuan yang ngadi warna, yakni pintar bersolek atau berdandan hingga terkesan ia pintar merawat dan menjaga kecantikannya. Kecantikan yang dimaksudkan ialah kecantikan lahir dan batinnya. Wajahnya senantiasa terlihat cerah ceria dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

Perempuan seperti itu juga pintar berdandan dengan mengenakan pakaian yang pantas dan serasi dengannya (ngadi busana), luwes gerak-geriknya (lumampah anut wirama), manis dan sopan tutur katanya. Perempuan seperti itu adalah perempuan idaman yang jika ‘bertahta’ dalam rumah tangganya selaku ‘ratu’, semua warga keluarganya akan merasa senang, mantap, dan dekat dengannya.

Kesembilan, luluh bermakna sabar atau mudah bersabar hatinya. Perempuan idaman yang bersikap luluh ditunjukkan oleh perilakunya yang penyabar, tidak keras kepala, serta menerima segala sesuatu dengan hati yang lapang (jembar, sabar, lan narima). Dengan sikap luluhnya, perempuan akan mampu mengelola rumah tangganya dengan baik, sehingga membuat suami serta anak-anaknya merasa tenteram dan tenang di dalam rumah tangganya.

Kata itu juga bermakna dapat mengerti, memahami, dapat menyimpan rahasia, tidak mudah marah, dan tabah. Laksana lautan, hati perempuan ini begitu luas lagi lapang, sehingga ia mampu menerima segala sesuatu yang datang kepadanya. Sikap sabar dan tabahnya demikian mengemuka dan begitu pula dengan kepintarannya menyimpan rahasia sehingga keluarga dan lingkungannya menaruh kepercayaan yang tinggi kepadanya.

Kesepuluh, mikul dhuwur mendhem jero diartikan untuk menjujung derajat orang tua, meski sebenarnya dapat diperluas yaitu menjunjung derajat suami dan keluarganya. Terhadap suami dan keluarganya, wanita hendaknya bersikap mikul dhuwur (memikul tinggi-tinggi) nama baik dan kehormatan suami serta keluarganya dan mampu mendhem jero (mengubur dalam-dalam) keburukan maupun kekurangan yang terdapat dalam diri suami dan keluarganya.

Perpaduan sikap ini sangat serasi jika terjadi pada diri seorang wanita, yang karenanya ia akan mampu menyimpan rapat-rapat rahasia, aib, kekurangan, dan keburukan yang terjadi pada suami atau keluarganya, serta mampu mengangkat nama baik atau kehormatan suami dan keluarganya. Sikap mikul dhuwur mendhem jero bukan sikap yang menunjukkan keangkuhan atau kesombongan, melainkan sikap terpuji yang mampu memunculkan segala kebaikan suami dan keluarganya, serta di lain pihak mampu mengubur dalam-dalam segala keburukan atau kekurangan suami dan keluarganya.

Kesebelas, tatas memiliki arti putus, selesai, atau tuntas. Pengertian yang lebih luas tatas diartikan sebagai tindakan yang mrantasi gawé, yaitu menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan sempurna. Dalam konteks ini seorang wanita memiliki sikap tegas, cekatan, trengginas, dan terampil.

Arti kata terampil sendiri ialah bertindak cepat, bersemangat, dan memiliki keterampilan yang memadai. Tatas dapat diartikan pula mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, tidak mindho-gawèni atau tidak ada pengulangan.

Kedua belas,titi-titis memiliki dua makna kata. Titi bermakna teliti, jeli, dan cermat. Ketelitian sesungguhnya sangat diperlukan dalam segala aktivitas atau kegiatan. Seseorang yang bersikap teliti, jeli, dan cermat dalam mengelola rumah tangganya akan berpengaruh terhadap kedamaian dan ketenteraman dalam rumah tangga.

Titis bermakna tepat mengenai sasarannya. Artinya, wanita yang titis berarti dapat mengelola rumah tangganya dengan efektif dan efisien sesuai yang diharapkan. Untuk dapat bersikap titis ini diperlukan pengetahuan, ketabahan, keuletan, kesabaran, dan ketelitian.

Pemanah disebut titis jika busur anak panahnya senantiasa tepat mengenai sasaran. Hal ini diperlukan latihan serta pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk ‘perpanahan’ serta harus ditekuninya dengan tabah, ulet, sabar, dan teliti. Hasil akhir yang diraihnya adalah gelar pemanah yang titis, di mana anak-anak panah yang dilepaskannya senantiasa tepat mengenai sasaran sesuai dengan yang diinginkan. Demikian halnya seorang istri yang bersikap titis akan sangat membantu suaminya yang secara bersama-sama menuju sasaran yang tepat dalam berumah tangga yang telah dicanangkan dan disepakati berdua.

Ketiga belas, tetes sangat dekat dengan istilah netes, artinya menghasilkan. Makna mendalam dari pengertian tetes berkaitan erat dengan dua peran wanita, yakni sebagai penerus keturunan dan sebagai ekonom dalam rumah tangga. Seorang wanita yang subur akan memberikan keturunan yang sehat dan sempurna lahir batin.

Bilamana diibaratkan seorang ekonom yang mengendalikan kebutuhan rumah tangga harus dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi keluarganya. Misalnya mulai dari menyediakan makanan sampai dengan urusan yang paling signifikan yaitu membangun cita-cita keluarga yang sakinah, mawadah, warrohmah (bahagia dalam limpahan cinta dan kasih sayang serta dalam limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa).

Pada dasarnya masih banyak nilai-nilai perempuan bilamana dikaitkan dengan budaya Jawa. Ketiga belas nilai yang tersaji merupakan rangkuman dari pemahaman penulis akan nilai-nilai yang dikembangkan atau sengaja dibangun bagi perempuan Jawa yang sarat nilai Budaya Jawa.

Adanya kuasa (hegemoni) pada wacana yang diangkat lewat ungkapan, sebutan, dan adagium bagi perempuan Jawa waktu itu memang kurang mengenakkan. Perempuan menjadi sosok yang dipojokkan dan hanya memiliki ruang gerak yang sempit, berbeda dengan kaum laki-laki.

Adanya hal yang kurang baik pada zaman itu senyatanya tidak sepenuhnya jelek. Pada zaman itu, di mana budaya Jawa masih sangat dilestarikan dan dikembangkan terdapat sebuah didikan baik akan nilai-nilai budaya Jawa yang sengaja ditanamkan pada diri perempuan.

Pada zaman saat ini, banyak perubahan ke arah yang lebih baik bagi dominasi perempuan untuk berkarya dan bergerak bebas seperti kaum laki-laki dengan adanya kesetaraan gender. Namun dengan adanya kesetaraan gender, perempuan Jawa terkadang lupa bahwa perannya sebagai seorang perempuan Jawa yang haruslah memupuk nilai-nilai perempuan budaya Jawa diabaikan atau bahkan tidak mengetahui.


Daftar Pustaka sengaja tidak dicantumkan karena untuk menghindari plagiasi.

Opini di atas merupakan tugas Kajian Kebudayaan tentang Cultural Studies ketika menjadi Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Negerji Sebelas Maret tahun 2016.



Share this post