Penyandang Tuna Rungu Berhak menjadi Well Informed Citizen

Media massa merupakan corong informasi yang hingga saat ini masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas. Berbagai informasi yang lalu-lalang setiap harinya melalui media massa yang ada menjadikan media massa sangat penting, bahkan sudah menjadi sebuah kebutuhan untuk saat ini. Entah media cetak ataupun media elektronik sangat dibutuhkan keberadaanya.

Media cetak yang berupa koran, majalah, buletin dan semacamnya masih membutuhkan biaya untuk mendapatkannya. Hal ini jauh berbeda dengan keberadaan media elektronik yang sangat mudah dijangkau oleh siapapun, dan dimanapun. Beberapa telepon genggam pun sudah ada aplikasi untuk langsung menyambung dengan siaran televisi. Bisa dikatakan masyarakat Indonesia sebagian besar sudah memiliki televisi.

Dalam perkembangannya televisi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern saat ini. Jika kita berbicara  masyarakat, maka banyak pula tingkatan masyarakat jika ditinjau dari berbagai aspek. Kesehatan salah satunya. Orang yang normal yang tidak mengalami cacat secara fisik masih bisa mengakses seluruh informasi dari seluruh media yang ada. Namun, lain halnya jika orang yang memiliki keterbatasan secara fisik. Mereka sangat sulit untuk mengakses dan menerima informasi dari berbagai media, terutama media elektronik seperti televisi yang perpaduan antara audio dan visual. Suatu contoh orang yang tidak bisa mendengar atau biasa disebut tuna rungu.

Televisi sebagai media elektronik yang terdiri dari audio dan visual menjadi sebuah kesatuan. Artinya, audio dan visual yang ada menjadi syarat untuk dinamakan televisi. Ketika orang hanya melihat secara visual apa yang ditayangkan televisi tanpa mendengarkan suaranya, maka pesan tidak akan tersampaikan dengan baik. Bukan hanya tidak tersampaikan dengan baik, bahkan audience tidak tahu apa yang sedang disampaikan oleh komunikator  (dalam hal ini televisi). Penderita tuna rungu juga termasuk dalam masyarakat yang berhak menerima informasi dari media apapun, termasuk diantaranya media elektronik.

Dalam UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran diatur bahwasanya media apapun boleh menggunakan bahasa isyarat dalam penanyangannya atau penyebarannya. Hal ini tertera dalam Bab IV tentang pelaksanaan siaran perihal bahasa siaran bagian kedua pasal 39, yang berbunyi “Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tuna rungu”. Sudah menjadi sebuah hal yang wajar untuk zaman sekarang undang-undang hanya dijadikan pajangan tertulis saja. Banyak pihak yang kemudian tidak memperhatikan pasal-pasal yang sudah tertera dan bahkan melanggar pasal-pasal tersebut.

Dalam hal ini pemilihan redaksi kata menjadi penting karena dapat menimbulkan banyak persepsi dari berbagai kalangan. Yang tertulis dalam pasal 39 itu adalah “Bahasa isyarat dapat digunakan …..”. Kata-kata “dapat digunakan” tersebut seolah-olah bukan menjadi sebuah keharusan bagi media televisi untuk memasang bahasa isyarat di setiap program acaranya. Hal ini secara tidak langsung televisi melakukan diskriminasi terhadap khalayak. Tuna rungu yang sejatinya harus mendapatkan informasi, mendapatkan hiburan dari media justru teraleniasi dengan tidak adanya penerjemah ke dalam bahasa isyarat tersebut. Tuna rungu juga berhak menjadi well informed citizen artinya berhak menjadi masyarakat yang menerima informasi dengan baik, sehingga penyandang tuna rungu dapat memilih dan kritis terhadap program acara atau informasi yang ditampilkan oleh media.

Hingga saat ini, hanya TVRI yang terkadang menggunakan bahasa isyarat, yang biasanya diletakkan di kotak kecil di pojok ketika program berita berlangsung. Hal ini tentu saja tidak cukup untuk melayani penderita tuna rungu yang ada di Indonesia. Sedangkan menurut data Kementrian Sosial sebanyak 6.008.661 jiwa yang berpredikat sebagi penyandang cacat, dan dari 6 juta itu sebanyak 1,5 juta orang di Indonesia yang menyandang tuna rungu.

Dari banyaknya penyandang tuna rungu ini, hanya satu televisi saja yang menggunakan penerjemah ke dalam bahasa isyarat, itupun hanya dalam program acara tertentu. Penyandang tuna rungu juga membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah dan perusahaan media televisi untuk menyetarakan mereka penyandang tuna rungu dengan orang normal. Ditambah lagi, tidak semua orang menonton TVRI karena keberadaannya sudah semakin tersudutkan dengan banyaknya stasiun televisi swasta.

Bentuk perhatian yang dibutuhkan antara lain penggunaan bahasa isyarat dalam setiap penyajian berita di televisi, karena mereka tidak dapat mendengar apa yang sedang diucapkan oleh pembawa beritanya. Akhirnya pesan yang diterima tidak sempurna, dan berujung pada tuna rungu ini sama sekali tidak mendapatkan informasi ataupun hiburan dari adanya televisi. Padahal dalam undang-undang sudah di atur bahwasnya media memiliki fungsi yang tidak hanya satu. Dalam UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran pasal 4 dinyatakan bahwa fungsi media penyiaran adalah media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. 

Saat ini televisi swasta belum ada yang pernah menampilkan penerjemahan ke dalam bahasa isyarat bagi penyandang tuna rungu. Rencana amandemen UU No 4 tahun 1997 akan mendorong media televisi swasta untuk menampilkan bahasa isyarat dalam setiap berita yang disajikan. Seharusnya peraturan yang dapat membantu penyandang tuna rungu ini mengacu pada UU No 19 tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Setelah UU No 4 tahun 1997 tersebut diamandemen, maka ada hal-hal yang mengikat dan menjadi kewajiban bagi media televisi untuk menampilkan bahasa isyarat pada setiap berita yang akan disajikan pada khalayak.

Dalam UU No 4 tahun 1997 hanya mengatur enam hal dalam memenuhi hak penyandang disabilitas, sedangkan kebutuhan penyandang disabilitas termasuk diantaranya penyandang tuna rungu terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tekhnologi yang semakin canggih. Dalam UU No 4 tahun 1997 hanya mengatur tentang pendidikan, perlakuan yang sama, pekerjaan dan penghidupan yang layak, rehabilitasi bantuan sosial dan pemeliharaan kesejahteraan, aksebilitas serta menumbuhkan bakat dan kehidupan sosial. Zaman dan tekhnologi yang semakin berkembang menjadikan penyandang tuna rungu juga harus mendapatkan hak untuk memahami isi berita yang disajikan oleh televisi. Dengan adanya penegasan secara tertulis dapat menjadikan penyadang cacat tidak merasa terdiskriminasi dan setara dengan orang normal pada umumnya.

Peraturan yang tertera pada UU No 32 tahun 2002 pasal 39 tersebut harus dirubah redaksinya menjadi “Bahasa isyarat harus digunakan dalam mata acara tertentu khususnya acara berita untuk khalayak tuna rungu”. Selain itu, pengesahan amandemen serta UU No 19 tahun 2011 juga membantu penyandang tuna rungu khususnya untuk mendapat fasilitas yang setara dan sama dengan orang normal. Sehingga tidak ada lagi ketimpangan dalam penerimaan informasi pada khalayak mengenai hal apapun. Suatu contoh tentang pemilu presiden kemarin, belum tentu seluruh penyandang tuna rungu tahu bagaimana calon presiden yang akan memimpin bangsa ini.

Mereka hanya mengetahui nama tanpa mengetahui lebih dalam calon presiden yang akan memimpin Indonesia lima tahun kedepannya. Karena televisi swasta tidak menampilkan penerjamah dalam pembawaan beritanya. Televisi swasta yang lebih banyak diakses oleh berbagai kalangan malah tidak memberikan fasilitas untuk seluruh khalayak, entah itu yang normal atau yang penyandang tuna rungu.

Televisi swasta pasti tahu ada pemirsa yang tidak dapat mendengar, memang secara kuantitas mungkin tidak sebanding lurus dengan jumlah yang normal, namun hal ini berdampak serius terhadap perkembangan pengetahuan masyarakat. Hak penyandang tuna rungu untuk mendapatkan informasi yang cepat sekaligus menghibur seharusnya diakomodir oleh pemilik media televisi. Jika penyandang tuna rungu hanya melihat visualisasi yang terjadi di layar kaca tanpa mengetahui apa yang sedang berlangsung dan apa yang dibicarakan dapat dipastikan akan sangat sulit memahami isi pesan yang disampaikan oleh televisi.

Informasi yang  diterima penyandang tuna rungu dapat membantu pemerintah untuk mensosialisasikan program kerja yang sedang digarap oleh pemerintah secara merata. Dengan perubahan redaksi dan pengesahan amandemen itu akan menambah fasilitas bagi penyandang tuna rungu dalam memperoleh informasi serta hiburan yang disajikan oleh media. Seluruh elemen masyarakat bertanggung jawab atas hal ini, karena sejatinya penyandang tuna rungu juga memiliki hal yang sama dengan orang yang normal.

           

 

Share this post