Hadirkan KH. Ihya’ Ulumuddin, Thursina IIBS Resmikan Masjid Thursina

Thursina International Islamic Boarding School meresmikan Masjid yang berlokasi di Kampus Putra. Mengundang KH. M. Ihya’ Ulumuddin sekaligus meresmikan masjid yang diberi nama Masjid Thursina, Jumat (22/10).

Dalam sambutannya, KH. M. Ihya’ Ulumuddin menyampaikan, nama Thursina lekat dengan kisah Nabi Musa yang dipanggil oleh Allah SWT untuk mendapat firman-Nya. Kala itu, Nabi Musa ingin melihat wujud-Nya secara langsung, namun justru jatuh pingsan setelah melihat kekuasaan Allah yang menghancurkan gunung Thursina. Fenomena itu membuat Nabi Musa tersadar akan betapa besar kuasa Allah SWT.

   

“Karenanya, Thursina dijadikan gambaran sebagai tempat yang hubungannya tidak akan terputus dengan Allah SWT. Insyaallah tempat ini juga akan menjadi tempat yang baik bagi ummat Islam,” ungkapnya.

Bertepatan dengan Hari Santri 2021, KH. M. Ihya’ Ulumuddin juga memberikan wejangan tentang pentingnya menjadi santri. “Sejatinya santri adalah orang yang cerdas, karena dalam diri mereka terdapat tiga ciri orang cerdas menurut Rasulullah SAW. Yaitu terus menerus taat kepada Allah, berusaha untuk mengontrol dan mengevaluasi nafsu dirinya, dan berusaha untuk mengalahkan nafsunya agar menjadi nafsu mutmainnah,” ungkap KH. M. Ihya’ Ulumuddin, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain tersebut.

   

Pada momen ini, Abi Ihya’, panggilan akrabnya, menyampaikan makna menjadi seorang santri. Pertama, sampai kapanpun akan terus berdakwah. Artinya santri akan terus berkeinginan untuk belajar dan berjuang. Kedua, akan terus berdakwah. Terus mengamalkan ilmu yang telah dimiliki. Ketiga, meneladani ulama, pejuang, dan peletak dasar melalui perjalanan mereka. Peletak dasar merupakan guru-guru Al-Quran. Keempat, tetap teguh dan istiqamah dalam Islam. Kelima, tidak gentar akan resiko perjuangan yang akan dihadapi. Keenam, ikhlas, jujur, dan semangat seiring dengan Ridho Allah dalam mencapai tujuan.


Menurutnya, menjadi santri berarti harus terus mengejar ilmu. Iqra’ atau membaca, tidak terbatas pada suatu hal tertentu. Tetapi harus terus mengembangkan ilmu yang dimiliki. Tentunya dengan tetap berlandaskan agama sebagai penyeimbang ilmu yang dimiliki. Seluruh proses nyantri ini pada akhirnya mengarah pada pembentukkan sikap tawaddu’.

“Fikir dan zikir adalah bagian dari konsep santri. Menyeimbangkan IQ dan EQ. Sehingga tidak menjadi manusia yang sombong akan ilmu yang dimiliki, tetapi justru menjadi rendah hati dengan kemampuan emosional yang didapat dari berdzikir kepada Allah (mutawadi’in),” tegasnya.

   

Proses ini juga harus dilengkapi dengan kesadaran penuh bahwa tidak ada suatu apapun dapat terjadi tanpa kuasa dan izin Allah SWT. Kesadaran ini yang juga akan menjaga seseorang dari sifat sombong. Abi Ihya’ menekankan untuk terus mengingat nikmat dan kuasa Allah. Sebab Allah yang telah menciptakan manusia dengan segala bentuk dan rupa, dan Allah juga lah yang memelihara. Sehingga, jika ada manusia yang merendahkan manusia lainnya, maka sama dengan merendahkan Allah SWT.

   

“Saya selalu ingat pesan ayah saya, jika kita sudah bisa tidak membeda-bedakan emas dan batu gosok, maka insyaallah kita sudah menjadi manusia,” pungkasnya. (nai/lil)

Share this post