Menanti Ke(tidak)pastian Pendidikan

Hingga saat ini pendidikan Indonesia masih berada di tengah ketidakpastian. Sebagian masyarakat berharap pendidikan kembali dibuka pada awal tahun ajaran baru pada Juli mendatang. Sebagian lainnya masih menunggu hingga Covid-19 benar-benar bisa dikendalikan.

Namun hingga saat ini hasil dan upaya penyelesaian kasus Covid-19 di Indonesia masih belum menunjukkan titik terang. Bahkan tren data penyebaran virus bukannya menurun tapi terus naik, bahkan pada21 Mei 2020 lalu menunjukkan angka kasus tertinggi yaitu mencapai 973 kasus dalam sehari.

Kondisi demikian tentu membuat dunia pendidikan Indonesia semakin jauh titik terang. Di beberapa negara sudah mulai membuka kembali sekolah-sekolah, seperti Firlandia, China, Denmark, dan Prancis. Pembukaan sekolah-sekolah di negara tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan standar pencegahan penularan Covid-19.

Ada kemungkinan sekolah-sekolah di Indonesia akan dibuka kembali dengan konsep dan standar new normal. New normal maksudnya perilaku manusia yang baru yang berbeda dan berubah dari perilaku sebelumnya, antara lain peduli terhadap kebersihan, lebih peduli terhadap kesehatan, lebih menjaga kekebalan tubuh dengan olahraga dan makanan bergizi, dan membatasi untuk melakukan pertemuan secara langsung.

Namun hingga saat ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan belum juga memberikan kepastian tentang hal tersebut.

Saat ini masalah di dunia pendidikan bukan hanya pada aspek pembelajaran jarak jauh (PJJ) saja, tapi juga nasib calon siswa baru. Sebab tahun ajaran baru untuk lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi biasanya dimulai pada Juli.

Para calon siswa dan wali siswa pun berharap cemas tentang nasib mereka pada Juli nanti, apakah sekolah akan dibuka atau tidak. Hal ini tentu menghadirkan ketidakpastian bagi mereka. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang tidak mau membayar biaya registrasi ulang hingga menunggu kepastian masuk sekolah.

Kondisi demikian hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah dalam hal ini harus menyiapkan beberapa alternatif untuk menghadapi situasi dan kondisi tersulit. Tentu kebijakan pembelajaran daring secara penuh seperti bulan-bulan lalu menurut hemat saya bukan solusi terbaik. Hal ini mengingat pembelajaran daring tersebut masih jauh dari harapan dan menyisakan banyak masalah, seperti jaringan internet yang kurang memadai, daerah-daerah yang tidak terjangkau listrik.

Akibatnya tidak sedikit siswa dan guru, khususnya di daerah kepulauan dan pedalaman tidak melakukan aktivitas pembelajaran sama sekali. Maka sangat wajar jika banyak pengaduan dari siswa dan orangtua tentang ketidakpuasan terhadap pembelajaran daring tersebut. Hingga 5 Mei 2020 lalu, KPAI menerima 258 pengaduan terkait PJJ, di mana 97 persen di antaranya berasal dari siswa dan 3 persen dari orangtua siswa.

Berdasarkan survei, kebijakan belajar dari rumah yang dilakukan mendadak ternyata tidak direspons dengan cepat oleh para penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, termasuk Kemendikbud. PJJ berjalan tanpa komunikasi, koordinasi dan fasilitasi, sehingga guru dan siswa menjadi korban.

Bagi anak-anak kelas menengah dan atas, pulsa dan kuota internet bukan masalah. Tapi, bagi mayoritas siswa dari keluarga kelas bawah, apalagi yang berada di pelosok, teknologi masih merupakan barang mewah yang sulit dijangkau. Di Provinsi Papua, sebanyak 54 persen dari 608.000 pelajar tidak bisa mengikuti PJJ karena tidak adanya peralatan, kuota internet dan listrik. Bahkan di kota besar seperti Bogor, ada 11 persen siswa yang tidak bisa melakukan PJJ dengan alasan alat dan kuota internet.

Padahal komunikasi efektif dan dua arah antara guru dan murid sangat dibutuhkan dalam proses PJJ. Menurut C.L. Dillon and C.N Gunawardena (1995), terdapat tiga hal yang akan menentukan efektivitas dalam PJJ. Pertama, teknologi. Dalam hal ini pelajar harus punya akses yang mudah terhadap jaringan dengan waktu seminim mungkin. Kedua, karakteristik pengajar. Pengajar memegang peranan penting dalam efektivitas pembelajaran secara daring. Ketiga, karakteristik siswanya sendiri.

Blended learning

Ada baiknya di kondisi sulit seperti saat ini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memikirkan konsep blended learning sebagai alternatif. Hal ini mengingat para siswa secara umum dan siswa baru secara khusus membutuhkan pertemuan tatap muka dengan guru. Menurut Mosa, Yoo, dan Sheets (2011) konsep blended learning artinya percampuran pola belajar antara pembelajaran di kelas (luring) dengan PJJ atau online (daring).

Ada beberapa unsur penting yang harus diperhatikan dalam blended learning tersebut, yaitu tatap muka, belajar mandiri, aplikasi, tutorial, kerja sama, dan evaluasi. Kelebihan model ini adalah hemat waktu dan biaya, pembelajaran lebih efektif dan efisien, tidak mengharuskan untuk melakukan pertemuan guru dan murid secara tatap muka di setiap waktu pembelajaran.

Pembukaan sekolah dengan konsep blended learning ini bisa dijadikan alternatif solusi. Sehingga sekolah-sekolah yang selama ini masih belum mendapatkan akses pendidikan karena terkendala jaringan internet dan listrik masih mendapatkan layanan pendidikan walaupun mereka tidak bisa mengoptimalkan di aspek online learning-nya.

Di sisi lain, protokol keamanan untuk mencegah penularan Covid-19 harus tetap dilaksanakan sesuai dengan standar prosedur kehidupan new normal dan panduan pembukaan kembali sekolah yang telah diterbitkan UNICEF. Misalnya, social dan physical distancing diterapkan dengan menata tempat duduk secara berjarak, mengurangi atau bahkan tidak melakukan sentuhan fisik secara langsung, sekolah menyiapkan kran-kran untuk cuci tangan dan hand sanitizer secara memadai, pemeriksaan suhu badan dan lain sebagainya.

Terlepas dari itu semua, pemerintah saat ini harus cepat dan sigap dalam merespon permasalahan pendidikan di tengah Covid-19 ini. Komunikasi dan koordinasi serta evaluasi lapangan secara intensif perlu dilakukan. Dengan ini diharapkan pemerintah segera menetapkan kebijakan atau keputusan terbaik untuk pelaksanaan pendidikan sebelum awal tahun ajaran baru di Juli mendatang.

Muhammad Rajab
Director of Ma'had and Islamic Studies Tazkia International Islamic Boarding School

detik.com

Share this post