Menghadapi Anak Kritis Mencari Tuhan

Semua orang kiranya menginginkan agar memiliki anak cerdas, pintar, dan kritis. Anak-anak yang demikian itulah yang dapat dibanggakan, karena kelak tidak saja bisa mengurus dirinya sendiri tetapi juga akan memberi manfaat terhadap  orang lain. Akan tetapi, menghadapi anak pintar, cerdas, dan kritis, bukanlah perkara  gampang. Mereka akan banyak bertanya, sampai memperoleh jawaban yang bisa diterima oleh akalnya.

Pertanyaan yang diajukan oleh anak cerdas akan semakin sulit jika menyangkut agama dan apalagi tentang Tuhan yang tentu tidak mudah dijelaskan. Hal yang berkaitan dengan sains dan teknologi bisa dibuktikan kebenarannya lewat pembuktian empirik. Melalui buku-buku ilmiah, laboratorium,  dan logika bisa menjelaskan dan meyakinkan jawaban yang diberikan. Sebaliknya, hal demikian itu tidak mudah diberikan ketika pertanyaan menyangkut agama.

Menjadi tidak sederhana lagi dan tidak mudah ketika menjelaskan tentang hal yang bersifat ghaib. Apalagi ketika  mengenalkan  bahwa Tuhan itu  bernama Allah. Tuhan itu adalah Maha Esa, Tuhan adalah tempat meminta, Tuhan  tidak beranak dan tidak diperanakkan, Tuhan tidak ada seorang pun yang setara denganNya. Menjadikan mereka percaya bahwa    al Qur’an itu benar hingga    mereka merasa puas, selalu  tidak mudah.  Keinginan bertanya dan membantah selalu muncul pada diri mereka. Sikap mereka seperti tersebut  itu tidak bisa disalahkan dan tentu  tidak boleh menjadikan kita kesal.

Diberikan penjelasan kepada mereka  bahwa Tuhan itu bernama Allah. Mereka bertanya, siapa yang bernama Allah itu. Tuhan yang memiliki nama, atau bernama Allah itu siapa. Sebagai anak  yang kritis, mereka akan beragumentasi bahwa sekedar menyebut nama adalah mudah. Akan tetapi yang diperlukan oleh mereka bukan sekedar mengenal nama, melainkan mereka menuntut untuk tahu siapa yang punya nama Allah, yang bernama Allah, dan yang memiliki nama Allah itu.

Sekedar berbagi pengalaman, dalam menghadapi anak cerdas, pintar,  dan kritis tersebut, saya pernah mencoba memberikan penjelasan sebagai berikut.  Saya mengatakan bahwa membayangkan Allah adalah sulit dan bahkan tidak bisa. Umpama seseorang mengaku berhasil membayang Tuhan, maka Tuhan yang dibayangkan itu sebenarnya bukan tuhan yang sebenarnya. Sebab Tuhan tidak akan bisa dibayangkan oleh siapapun.

Saya menjelaskan bahwa,  Tuhan tidak bisa dibayangkan oleh siapapun. Tuhan itu tidak berbentuk, tidak berupa, tidak bersuara, tidak beralamat, dan tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya. Bisa dibayangkan bahwa secerdas, sepintar, dan sekritis apapun, orang tidak akan mampu membayangkan sesuatu yang keterangannya sebagaimana disebutkan itu. Membayangkan sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak beralamat saja misalnya, siapapun akan bingung. Sebab, apapun jenisnya benda selalu bertempat.

Dalam suasana kebingungan itu, saya mencoba menjelaskan bahwa kata “Allah” itu sebenarnya berasal dari  seseorang yang memperkenalkan. Orang dimaksud adalah sangat jelas. Kata Allah itu bukan didapat dari sembarang sumber. Yang memperkenalkan nama Allah itu adalah seseorang yang amat terpercaya, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua orang, sebagai  pembawa agama dan kitab suci, dipercaya oleh  generasi ke generasi secara bersambung. Sejarah dan riwayat hidupnya  amat jelas.

Orang yang memberitakan tentang “Allah” tersebut mampu menjelaskan tentang kehidupan dunia ini,  baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Orang dimaksud mampu menjelaskan siapa sebenarnya yang disebut dengan nama Allah itu, mampu menjelaskan sejarah umat manusia, mampu menjelaskan tentang kehidupan hari ini dan hari akhir, menjelaskan tentang jagad raya ini,  baik yang dzahir maupun yang batin. Padahal orang ini tidak mengenal sekolah. Bahkan juga mampu menjelaskan tentang asal usul diri manusia secara utuh. Tentu, dan lain-lain

Orang  yang dimaksud tersebut, memiliki akhlak yang sempurna. Dia mengetahui rahasia Allah,  rahasia manusia, dan rahasia makhluk lainnya. Itulah bernama Muhammad saw.  Orang yang disebut sebagai utusan Allah itu  memiliki sejarah yang amat jelas. Kedua orang tuanya, tempat lahirnya, pertumbuhannya sejak kecil hingga disebut sebagai seorang nabi dan rasul. Utusan Allah ini menerima wahyu yang kemudian dikumpulkan bernama kitab Al Qur’an.  Kitab ini terbuka untuk diuji oleh siapapun, termasuk oleh anak yang pintar, cerdas,  dan kritis sekalipun.

Setelah beberapa penjelasan bisa diterima dan diketahui bahwa pembawa agama Islam itu adalah Muhammad saw., membawa petunjuk kehidupan berupa wahyu dan kemudian  disebut  al Qur’an,  maka mereka bersedia menerima   penjelasan selanjutnya. Misalnya, siapa sebenarnya Muhammad saw itu. Di mana sekarang ini berada. Bahwa manusia, tidak terkecuali Muhammad saw.,  terdiri atas dzahir dan batin. Dijelaskan bahwa dzahirnya sudah wafat, di makamkan di Madinah. Persoalannya adalah batinnya, yang disebut sebagai rasul berada di mana. Ternyata al Qur’an memberi penjelasan tentang hal itu semua secara jelas.

Tentu  berpedoman pada keterangan al Qur’an selanjutnya  dapat dijelaskan, bahwa siapa sebenarnya hakekat Muhammad saw ini, Para nabi dan rasul sebelumnya juga menyebut akan datang utusan Allah swt., pada nabi terakhir. Pengkhabaran itu juga  disampaikan oleh Nabi Isa, as. Dikatakan oleh Nabi Isa, as., bahwa kelak akan lahir utusan Tuhan bernama Ahmad.  Melalui penjelasan ini, selanjutnya diperkenalkan lebih lanjut, mengapa kaum muslimin harus menjalankan shalat lima waktu, mengapa harus menghadap kiblat, yaitu ka’bah di tengah-tengah Masjidil Haram. Apa sebenarnya Ka’bah dan apa pula Baitullah. Dijelaskan mengapa semua kaum muslimin di seliuruh dunia ketika shalat, termasuk ketika mati, jenazahnya  dihadapkan  ke tempat ini. 

Melalui dialog, diajak berpikir, mencari asal usulnya, secara berangsur-angsur, mereka mengetahui dan memahami apa sebenarnya Islam itu. Apa dan siapa sebenarnya yang disebut manusia itu, utusan Tuhan, hari akhir, dan seterusnya. Mereka juga akan menjadi tahu, apa sebenarnya misi  diutusnya para rasul dengan membawa agama ke permukaan bumi.

Akhirnya, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mereka lantas menjadi beragama. Tentu hal itu bukan urusan manusia.  Lewat cara ini hanya sampai pada tahap, mereka tahu tentang agama. Pada wilayah menjadi orang beragama,-----dalam pengertian memperoleh petunjuk atau hidayah,  adalah urusan  Allah dan rasulNya. Bukan berada pada wilayah manusia pada umumnya. Wallahu a’lam


Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS

Share this post