Belajar Agama Untuk Bekal Pulang ke Kampung Akherat

Karena saya sering diminta khutbah, ceramah, bicara agama di kampus, dan bahkan juga di Pondok Pesantren, maka ada saja orang bertanya, dulu belajar agama di mana. Dalam hati saya, orang yang bertanya ini sebenarnya sudah tahu, saya tidak punya latar belakang pendidikan agama, baik madrasah, pesantren, maupun  bidang agama di perguruan tinggi. 

Kekurangan saya tersebut tidak pernah saya tutup-tutupi. Bagi saya hal tersebut bukan sesuatu yang harus dirahasiakan. Saya justru menjadi percaya diri, tidak pernah belajar agama secara formal tapi dipercaya untuk bicara agama. Mereka yang mempercayai itu tidak saja institusi keagamaan di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara Islam, misalnya di Saudi Arabia, Mesir, Iran, Yaman, Sudan, Maroko, dan lain-lain.


Padahal umpama tidak pernah menjadi rektor UIN Malang  sekian lama (16 th), saya pantas disebut seorang muallaf. Bagaimana tidak, saya tidak pernah belajar di pesantren. Sekolah saya sejak kecil di  SD, SMP, SMA, masuk IAIN jurusan bahasa inggris, kemudian belajar ilmu sosial politik hingga lulus S3 di Univ. Airlangga. Saya tahu Islam hanya dari dengar-2 saja, bukan dari guru. Menyadari kekurangan itu, saya tidak pernah berhenti belajar kepada siapa saja dan di mana saja, paling tidak, lewat bertanya. 

Sekalipun tidak pernah belajar Islam di lembaga pendidikan Islam, saya punya gambaran sedemikian ideal konsep dan kehidupan Islam. Di mata saya, islam sedemikian indah. Namun jujur, dan terus terang, saya kecewa sekali dengan islam yg terimplementasikan dalam kehidupan nyata selama ini. Berbicara Islam baik dalam pendidikannya, ekonominya, politiknya, sosialnya, dan lain-lain,  hampir di semua kehidupan mengecewakan. Bicara Islam seolah-olah bicara kemunduran, ketertinggalan, kekalahan dan bahkan keterpurukan. Begitu pula perilaku, tidak terkecuali perilaku elitenya. 

Berbohong, tipu menipu, konflik, hina menghina, merendahkan, salah menyalahkan, dan bahkan korupsi juga dilakukan oleh etite orang Islam. Islam mengajarkan kasih sayang, tolong menolong, menghargai orang, menjaga persatuan, dan seterusnya, seolah-olah ajaran islam yg indah sudah  ditinggalkan oleh umatnya. Seakan-akan Islam tinggal namanya, al Qur'an kehilangan makna yang dikandungnya,  dan yg tersisa hanyalah tulisannya. Anjuran agar bersatu dalam al Qur'an, sedemikian jelas, yaitu : "wa' tasimuu bi hablillshi jami'a walaa tafarraquu.."terasa diabaikan.  Juga diingatkan dalam surat ar Ruum ayat 31 dan 32 tentang seharusnya dihindari adanya kelompok-kelompok, dan firqoh-2, ternyata para elite Islam bernikmat-nikmat di wilayah perpecahan itu.

Suasana batin yg secara singkat saya sampaikan tersebut, ketika membaca statemen Prof. Fauzul iman, Rektor UIN Banten dan juga Prof. Lias Hasibuan, Guru Besar UIN Jambi, terkait pengamatannya bhw puasa tidak bisa merubah perilaku dan demikian pula shalat, saya langsung memberikan komentar. Saya berkeyakinan hal tersebut pasti ada persoalan terkait kualitas shalat dan puasanya. Ada sesuatu yg masih perlu disempurnakan terhadap kegiatan ritual tersebut. 

Membaca statemen kedua Guru Besar tersebut, saya kemudian teringat beberapa ayat al Qur'an tentang shalat, tentang puasa, tentang kiblat, Baitullah yg ternyata menjadi sentral  dlm menjalankan  ritual tetapi banyak terlupakan. Di antaranya ttg shalat yg dilakukan secara sembarangan maka tidak akan mampu mengubah perilaku, dan demikian pula tentang puasa. Disebut dlm hadits, banyak orang berpuasa tapi tidak memperoleh apa-2 kecuali lapar dan dahaga. Maka, pandangan Prof. Fauzul Iman tersebut  saya sebut serius dan mendasar. Statemen Rektor UIN Banten tersebut harus mendapatkan perhatian dan jawaban dari para guru besar UIN/IAIN/STAIN dan lainnya. Saya bermaksud bukan merendahkan, menyalahkan, tetapi saya justru merasa senang, mendengar sesuatu yg penting untuk dijadikan  momentum membangun kesadaran dan langkah perbaikannya.

Sekarang ini, saya memang berusaha mengkaji al Qur'an, dari awal hingga akhir, berulang-ulang. Saya ingin tahu, kitab suci ini sebenarnya bicara tentang apa ?  Benda yg dibicarakan oleh al Qur'an itu sebenarnya apa ? Saya merasa harus tahu. Sebab setiap kata pasti menunjuk benda yg dikata. Tidak mungkin kitab suci yg agung mengata sesuatu yg tidak ada bendanya. Al Qur'an tidak mungkin hanya kumpulan kata-2. Melainkan, kata-2 itu ada benda yg jelas yg dikatakan. 

Saya berusaha mencari hal tersebut,  tidak ada tujuan lain, kecuali agar mengerti Islam, menjadi bekal  ber-islam dengan baik, dan ketika kelak saya pulang ke kampung  yg sebenarnya, yakni kampung akherat, saya tahu jalannya, tahu alamat tempat saya pulang, dan memiliki bekal pulang (rooji'un) yg mencukupi. . Karena itu, siapapun yang mau saya jadikan teman berdialog dan bermusyawarah tentang agama, saya pandang sebagai guru. Belajar agama tidak boleh berhenti hanya alasan tua. Belajar agama seharusnya dilakukan seumur hidup sebagai bekal  berpulang kelak hingga ke kampung akherat.


Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS



Share this post