Membaca Kitab Yang Ada Pada Diri Sendiri

Membaca buku apa saja bagi orang yag tidak buta huruf dapat dilakukan dengan mudah. Apalagi orang GB yang pekerjaannya sehari-hari terkait dengan kegiatan baca membaca. Misalnya guru, dosen, wartawan, mahasiswa, dan semacamnya. Asalkan tidak buta huruf, siapa saja akan bisa membaca buku, majalah, jurnal, laporan tertulis, dan lain-lain.

Selain membaca buku,  orang juga bisa membaca keadaan atau lingkungan di sekitarnya.  Namanya membaca sesuatu yang  tidak tertulis. Bahkan orang tertentu, ilmuwan misalnya, dapat membaca lebih dalam melebihi orang awam.  Orang awam di bidang pertanian, hanya bisa membaca tanaman yang dilihatnya. Tapi bagi ahli pertanian,  mampu membaca  jenis tanaman, kesuburannya, kapan berbuah, dan kapan waktunya panen secara mendalam. Bahkan juga tahu, masing-masing  rasa buah yang berbeda-beda, karena sehari-hari meneliti dan mempelajarinya.

Tidak saja membaca lingkungan yang terasa mudah, tetapi juga membaca teman, keluarga dekat,  termasuk membaca orang lain. Orang lain itu  misalnya teman sekantor, anak buah, pimpinan, dan bahkan juga orang-orang yang duduk dalam pemerintahan.   Siapa saja pasti bisa membaca hal tersebut, sekalipun kadang bersifat subyektif. Bersifat subyektif, karena ketika membaca orang lain, biasanya  terpengaruh oleh  sikap atau perasaan terhadap orang yang dibacanya itu.

Tatkala seseorang terlanjur menyukai  seseorang yang dibacanya, termasuk organisasinya, maka orang yang dibacanya akan disebut baik dan menyenangkan. Itulah disebuit subyektif, karena dasarnya adalah rasa senang dan atau sebaliknya tidak senang itu. Orang yang disenangi atau dicintai, apa saja yang  kelakukan, disebutnya  baik. Yang tampak jelek saja disebut baik dan indah, apalagi jika hal tersebut benar-benar baik. Begitu pula sebaliknya.

Bersikap obyektif adalah  sangat sulit ketika seseorang sudah memiliki perasaan tertentu yang ada pada dirinya, baik positif ataupun negative. Namun demikian, penilaian itu, pada batas-batas tertentu, masih bisa dilakukan, sekalipun tidak bisa diperoleh tingkat obyektifitas yang sebenarnya.

Dalam kehidupan ini, pekerjaan membaca yang tidak semua orang bisa adalah  membaca dirinya sendiri.  Membaca diri sendiri adalah pekerjaan yang amat sulit.  Hal itu terjadi  karena semua orang menyandang sifat subyektif  terhadap dirinya sendiri. Mereka  pasti memiliki ketahanan ego yang tinggi.  Dirinya sendiri  merasa harus dibela dan ditutupi kekurangannya. Sifat subyektif dan juga ketahanan ego inilah yang  sebenarnya menjadikan  orang tidak  bisa membaca dirinya sendiri.

Islam menyuruh umatnya membaca. Namun seringkali terjadi salah paham. Dikiranya  disuruh membaca  buku, kitab, majalah, bahkan juga alam atau lingkungannya. Memang membaca hal-hal tersebut perlu, tetapi ada lagi yang lebih penting setiap hari untuk  dibaca, yaitu membaca dirinya sendiri. Dikiranya, dirinya sendiri sudah diketahunya. Padahal jangankan yang bersifat batin, sementara itu  yang  tampak atau dzahirnya saja, tidak mampu membacanya secara keseluruhan. Untuk melihat dirinya, bagi siapapun, memerlukan cermin.  Setiap orang untuk melihat dirinya, pasti membutuhkan alat atau pertolongan orang lain.

Kemampuan membaca diri sendiri adalah  penting sekali. Banyak orang melakukan kesalahan oleh karena pintar membaca orang lain tetapi tidak mampu membaca dirinya sendiri. Dikiranya orang lain yang salah. Padahal sebaliknya,  justru dirinya sendiri yang keliru. Namun, orang  pintar biasa melempar kesalahan dirinya sendiri kepada orang lain. Untuk menutupi kesalahan dirinya, seseorang  merasionalisasikan perbuatannya.  Dirinya yang salah, tetapi untuk menutupi kelemahan dirinya, mengambil cara menyalahkan  orang lain.

Seseorang yang tidak mampu membaca dirinya sendiri, sebenarnya berakibat fatal. Misalnya, sudah jelas tidak memiliki massa pendukung, seseorang  mencalonkan diri menjadi pejabat politik yang harus dipilih oleh banyak orang.  Tentu gagal. Atas kegagalan itu orang menyebutnya tidak tahu diri. Sebutan tidak tahu diri dan juga lupa diri, di mana saja dipandang buruk.

Maka, betapa pentingnya sebenarnya mengetahui tentang dirinya sendiri, lewat  membaca diri sendiri. Orang sehari-hari sibuk membaca buku, membaca kitab, lingkungan sekitarnya, dan semacamnya,  tetapi  lupa membaca dirinya sendiri. Al Qur’an mengingatkan, agar selalu membaca dirinya sendiri. Dalam surat al Israa’ ayat 14 menyebut : Iqra’ kitaabaka kafaa bi nafsikal yauma ‘alaika hasiibaa. (Bacalah bukumu. Cukuplah engkau sendiri pada hari ini menghitungmu).

Banyak orang, tentu termasuk saya, membaca  sedemikian banyak buku, tulisan, kitab, majalah, jurnal yang ditulis oleh orang lain. Mengumpulkan sejumlah buku, kitab, tulisan-tulisan,  serta menyimpannya di sejumlah almari  besar dan panjang. Melihatnya tampak bangga, buku-buku berjajar dan bertumpuk.  Padahal yang dianjurkan adalah justru membaca buku yang ada pada dirinya sendiri. Tegasnya, buku yang ada di dadanya sendiri.  Memang tidak mudah, tetapi harus dilakukan. Tentu agar tidak disebut lupa diri dan apalagi tidak tahu diri. Wallahu a’lam


Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS

Share this post