Menguatkan Ikhtiar “Memondokkan” Anak

Seorang Anak adalah buah hati dan investasi dunia akhirat. Kebaikan yang ditanam olehnya, juga akan dipetik oleh orang tuanya, di dunia juga di akhirat. Sebagai investasi yang sangat berharga, mestinya mereka menjadi prioritas utama bagi orang tua, terutama dalam masalah pendidikannya. 

Kata Imam Ghazali, anak adalah amanat di tangan kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah mutiara yang masih mentah, belum dipahat maupun dibentuk. Mutiara ini dapat dipahat dalam bentuk apapun, mudah condong kepada segala sesuatu. Apabila dibiasakan dan diajari dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh dalam kebaikan itu. Hasilnya kedua orang tuanya akan hidup berbahagia di dunia dan akhirat. Semua orang dapat menjadi guru dan pendidiknya. Namun apabila dibiasakan dengan keburukan dan dilalaikan –seperti dilalaikannya hewan- pasti si anak akan celaka dan binasa. Dosanya akan melilit leher orang yang seharusnya bertanggung jawab atasnya dan menjadi walinya (Suwaid, 2009: 46).

Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه كَمَثَلِ البَهِيْمَةِ تُنْتَجُ البَهِيْمَةَ هَلْ تَرَى فِيْهَا جَدْعَاءَ  

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?.” (HR. Bukhari)

Setiap anak akan tumbuh dan berkembang dari apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, dan apa yang mereka rasakan. Maka kewajiban orang tua, memberikan contoh atau uswah hasanah. Memilihkan lingkungan pendidikan islami yang menanamkan adab dan akhlak yang mulia.

Sebenarnya, kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah tentang anaknya adalah orang tua (QS. al-Tahrim: 6).  Nyatanya, di tengah kesibukan dan pekerjaan dalam mencari nafkah, membuat orang tua tidak sempat untuk mendidiknya secara mandiri. Juga karena keterbatasan kapasitas keilmuan orang tua. Akhirnya, mereka memilih untuk menitipkan anaknya di lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya pesantren. 

Karena itu, Islam memberikan solusi terbaik dengan menganjurkan umatnya untuk senantiasa menempuh perjalanan demi menuntut ilmu Allah SWT (rihlah ‘ilmiyah). Dalam sejarah keilmuan Islam, telah dicontohkan kesungguhan para ulama’ dalam menuntut ilmu, khususnya dalam ilmu hadits. Perjalanan menuntut ilmu ini secara estafet dilakukan  sejak  masa  Nabi  Muhammad  SAW,  sahabat,  tabi’in,  atba’  al-tabi’in  hingga sekarang.

Rihlah ‘ilmiyyah yang ditradisikan oleh salaf al-shalih ternyata membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan Islam, khususnya dalam kajian hadits. Perjalanan antar ulama dan para guru hadits ini merupakan metode yang sangat baik dalam meningkatkan intelektualitas, menyempurnakan ilmu, dan memelihara hadits nabi. Inilah tradisi ulama yang telah diwariskan sejak  zaman  Nabi  SAW.  

Imam Syafi’i dalam salah satu sya’irnya mengatakan:

مَا فِي المَقَامِ لِذِي عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ         مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِبْ

“Berdiam diri dan menetap di tempat mukim, sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka yang memiliki akal dan adab, maka berkelanalah, tinggalkan negerimu (demi menuntut ilmu dan kemuliaan).”


Miniatur Kehidupan

Di tengah kondisi sosial-masyarakat saat ini, pesantren adalah pilihan yang tepat untuk pendidikan anak-anak kita. Pesantren adalah miniatur kehidupan. Dalam perjalanannya, pesantren bukan hanya menyiapkan para santrinya untuk memiliki kemampuan pemahaman keislaman yang baik, menanamkan adab dan akhlak mulia, tapi juga membekali mereka dengan wawasan keilmuan yang lebih luas. Harapannya, para santri mampu memahami hakikat dirinya, yakni sebagai hamba Allah dan juga khalifah-Nya. 

Pesantren juga mengajarkan tentang pentingnya berinteraksi sosial dengan ragam dan kultur yang berbeda. Biasanya para santri di pesantren berasal dari berbagai daerah dengan kultur dan kebiasaan yang beragam. Dari sini mereka akan belajar memahami makna perbedaan. Mereka akan mengerti tentang arti toleransi. Mereka juga akan saling menghormati satu sama lain. 

Pesantren juga mendidik santrinya tentang tanggung jawab dan kemandirian. Seperti kemandirian dalam beribadah. Mereka dilatih untuk senantiasa bertanggung jawab terhadap tugasnya sebagai hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh kepada-Nya. Juga kemandirian dalam belajar.  Salah satu ciri pendidikan yang baik adalah yang menyiapkan anak didiknya untuk jadi pembelajar sejati sepanjang hayat. Memang idealnya pendidikan mengajarkan how to be (belajar untuk membentuk diri), how to do (belajar untuk berbuat), how to learn (belajar untuk belajar) dan how to live together (belajar untuk hidup bersama). 

Berikutnya, kemandirian dalam tanggungjawab dan tugas pribadi. Tidak semua orang mampu untuk menjalankan tugas-tugas dan tanggungjawab pribadinya. Nah, pesantren sebagai tempat belajar kehidupan, melatih para santri untuk senantiasa mandiri dalam tugas-tugas pribadinya. Mulai dari mencuci dan menyetrika pakaian, bangun dan mandi pagi, bersih diri, bersih lingkungan asrama, dan lain sebagainya. Tak cukup itu, para santri juga melalui organisasi dilatih untuk memiliki tanggung jawab sosial dengan amr ma’ruf nahyi mungkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. 

Ikhlas dan Doa

Kenyataannya, tidak semua orang tua mampu untuk memondokkan anaknya di pesantren. Secara psikologis, sebagian orang tua masih belum siap, alias tidak tega untuk melepas anaknya di pesantren. Ada juga yang sudah sudah memondokkan anaknya, namun di tengah perjalanan menariknya dengan alasan tidak kerasan, atau alasan lainnya.

Prinsipnya, memondokkan anak ke pesantren adalah soal ikhtiar dan kepasrahan. Ikhtiar untuk menyiapkan anak yang bukan hanya memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah (abdullah), tapi juga yang memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan kemanfaatan dan kontribusi keummatan (khalifah fi al-ardh). Dan juga pasrah dengan mengikhlaskan hanya kepada Allah kepergian anak dalam menempuh perjalanan menuntut ilmu. 

Tugas orang tua di rumah adalah berdo’a dan bermunajat kepada Allah SWT untuk kebaikan dan keberhasilan putra-putrinya di pesantren. Terutama di waktu-waktu mustajabah seperti di sepertiga malam terakhir. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الوَالِدَيْنِ عَلَى وَلَدِهِمَا

“Ada tiga jenis do’a yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu do’a orang yang didzolimi, do’a orang yang bepergian dan doa kedua orang tua kepada anaknya.” (HR. Bukhari)

Adapun hasil dari ikhtiar pendidikan tersebut kita pasrahkan kepada Allah SWT. Dan perlu diingat, bahwa memondokkan anak itu tidak seperi menanam padi dan tebu, yang dalam waktu tiga sampai enam bulan akan panen. Namun butuh proses yang panjang dan wallahu a’lam kapan kita panennya kita belum tahu. Tapi yakinlah in syaa Allah nanti kita akan memanennya seperti yang termaktub dalam al-Quran.

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ، وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath: 29)

Mudah-mudahan dengan keikhlasan dan do’a para orang tua, para asatidz (guru) dan kita semua, para santri Tazkia mampu menjadi anak-anak yang shalih, mushlih dan perekat ummat.


Oleh:
H. M. Ali Wahyudi, M.Pd (Chairman of Tazkia International Islamic Boarding School)

Share this post