Sumber Utama Problem Kehidupan Bangsa

Beberapa hari yang lalu, melalui WA, seorang teman menanyakan sumber problem bangsa selama ini dan bagaimana mengatasinya. Dia mengungkapkan sejak dia hidup menjadi bagian dari bangsa Indonesia persoalan bangsa tidak pernah selesai. Persoalan politik, ekonomi, pendidikan, social, hukum, dan bahkan agama selalu muncul seolah-olah tidak pernah berhenti. Kedamaian yang dicita-citakan tidak pernah dirasakan. Dia mencontohkan, berapa kali berganti presiden, hampir selalu berakhir tidak menggembirakan.

Teman tersebut mengajak berdiskusi, apakah mungkin suatu saat cita-cita luhur dan mulia yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa, dapat diraih.  Menjadikan bangsa ini  hidup makmur, bersatu, damai  dan tenteram akankah  berhasil diwujudkan. Pertanyaan itu tentu amat berat dan tidak mudah sehingga  tidak seorang pun bisa menjawabnya. 

Mempelajari kenyataan, bangsa ini sudah merdeka selama 75 tahun, tetapi bahan pangan saja masih belum berhasil tercukupi sendiri, artinya masih import. Tidak saja beras, tetapi juga kebutuhan lainnya, seperti daging, buah-buahan, dan anehnya hingga garam saja masih membeli dari luar negeri. Apalagi produk-produk  teknologi. Bangsa kita ini masih belum menjadi produsen, tetapi sebaliknya masih menjadi pasar. 

Dalam diskusi berdua, teman saya tersebut bertanya sebenarnya sumber persoalan yang melahirkan problem yang sedemikian rumit ini apa. BUkankah dalam berbagai ceramah, pidato, buku dan makalah yang ditulis selalu digambarkan bahwa,. bangsa ini adalah kaya, masyarakatnya rajin dan tekun bekerja, dan apa saja bisa didapatkan dari Indonesia. Lebih dari itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious, sehingga sudah barang tentu memiliki filsafat hidup yang kokoh. Lalu apa sebenarnya yang kurang dari bangsa ini.

Dalam berdiskusi itu, saya mencoba menjawab dengan singkat, bahwa sumber persoalan bangsa ini adalah terletak pada diri manusianya itu sendiri dan bukan dari yang lain.  Manakala sekarang ini masih menjadi pengimport berbagai jenis kebutuhan pokok, sebenarnya bukan oleh karena tidak ada bahan baku, bukan karena tidak ada tenaga yang mengerjakannya, bukan karena tidak ada modal, melainkan adalah oleh karena manusianya  itu sendiri.

Apakah persoalan tersebut  berawal dari pendidikan, jawabnya secara kuantitas bukan.  Jumlah perguruan tinggi, sejagat ini yang paling banyak adalah Indonesia. Di samping memiliki ratusan perguruan tinggi negeri,  juga memiliki ribuan perguruan tinggi swasta. Dari sisi jumlah memang hebat, tetapi yang seharusnya diakui dari kualitas lulusan yang dihasilkan belum mampu menyelesaikan masalah. Sebaliknya justru melahirkan masalah baru. Misalnya, sering terdengar, betapa banyak sarjana belum mampu mencari lapangan kerja sendiri, apalagi menciptakan dan memberikan pekerjaan kepada orang lain.

Selain dari kualitas hasil pendidikan, jika persoalan itu datang dari manusia, sebenarnya aspek  apalagi yang dipandang kurang. Saya berani memberikan jawaban, bahwa aspek kelemahan  lainnya  adalah terletak pada diri   masing-masing manusianya. Apa yang ada pada diri manusia  itulah yang menjadikan manusia Indonesia menjadi boros, tidak terarah, tidak efektif dan efisien,  tidak produktif, mencari untung untuk dirinya sendiri, berorientasi pada jangka pendek, suka menerabas, pandai membuat aturan dan sekaligus pintar menyimpang dari peraturan yang dibuatnya sendiri, dan sejenisnya.

Dalam Bahasa agama, -----dalam hal ini Islam misalnya, bahwa pada diri  manusia terdapat  penyakit. Penyakit itu tidak semakin sembuh, tetapi semakin lama semakin bertambah. Disebut ada sepuluh penyakit hati atau batin, yaitu ajib, riya’, takabur, iri, dengki, fitnah, hasut, tamak, loba, dan sombong.  Sepuluh penyakit hati inilah yang melahirkan manusia yang tidak jujur, pembohong, ingkar janji, tidak amanah, boros, berpandangan sempit, berorientasi jangka pendek,  dan lain-lain yang sebagiannya telah disebutkan di muka.

Kita bisa kalkulasi akibat dari satu penyakit hati saja, misalnya tidak jujur. Untuk mengamankan uang negara agar ada kepastian,  bahwa orang yang mengurusi anggaran tidak memanipulasi,  diperlukan berbagai instansi yaitu, :  polisi, jaksa, hakim, pengawas internal, BPKP, BPK, dan bahkan KPK. Berapa  ratus ribu orang yang harus digaji dan dibiayai dari berbagai jenis kegiatan  operasionalnya,  sekedar untuk memastikan bahwa keuangan  negara tidak diselewengkan. Itulah yang disebut berbiaya mahal atau boros.

Oleh sebab itu sebenarnya untuk menyelesaikan problem bangsa ini, yang mendesak dan strategis adalah membangun  manusianya. Persoalan yang harus dijawab adalah bagaimana agar bangsa ini menjadi kokoh, kuat, dan jujur. Persaingan ke depan pasti semakin dahsyat. Dalam persaingan bebas, siapapun yang lembek pasti kalah. Untuk menjadikan bangsa ini kuat, tidak ada acara lain kecuali lewat pendidikan. Yaitu, pendidikan yang berhasil memperkokoh dan  menguatkan, baik yang dzahir maupun yang batin. Itulah  cara tepat untuk memenangkan persaingan.

Pendidikan yang hanya mengedepankan aspek jumlah, bersifat formalitas, mengabaikan mutu, dan sejenisnya adalah hanya akan memperpanjang persoalan bangsa. Manusia Indonesia harus dididik secara benar, agar menjadi kokoh dan kuat, baik dari aspek dzahir dan batinnya. Hanya orang yang kuat itu sajalah yang mampu bersaing  dan menang. Jika tidak segera disadari dan diambil langkah yang tepat secara bersama-sama, hingga kapan pun bangsa ini akan menjadi bangsa yang kalah bersaing dengan bangsa manapun. Wallahu a’lam


Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS

Share this post