Transformasi Pesantren Menghadapi Era Globalisasi

Tidak dapat diragukan lagi bahwa pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam perjuangan dan peradaban bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat kemunculan beberapa tokoh besar bangsa yang lahir dari rahim pesantren. Eksistensinya sebagai bagian utama dari sistem pendidikan Islam Indonesia telah membuktikan bahwa lembaga model seperti ini mampu memberikan warna perubahan bagi bangsa Indonesia. 

Dalam perjalanannya pesantren terus menunjukkan eksistensinya di tengah berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapinya. Pasalnya pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan kitab saja, tapi lebih dari itu lembaga yang satu ini menekankan pada pendidikan nilai (value education) dan adab. Di pesantren salaf (tradisional) pengajian adab menjadi prioritas utama (the first priority). Mereka harus mengkhatamkan kitab Ta’lim al-Muta’allim sebagai bekal supaya mereka benar-benar menghormati guru dan ilmu. Sebab kecintaan dan penghaormatan kepada guru ilmu dan guru menjadi kunci utama untuk mendapatkan kemanfaatan dari pada ilmu itu sendiri. Bagi mereka ilmu tanpa amal dan kemanfaatan yang jelas ibarat pohon yang tak berbuah.

Di era globalisasi ini pesantren dihadapkan pada tantangan baru dengan  munculnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan ini telah menciptakan ruang baru yang kita kenal dengan istilah globalisasi. Kondisi masyarakat global (global viilage) sudah barang tentu memberikan dampak dan perubahan signifikan dalam pemikiran, budaya dan perilaku masyarakatnya. Ini memberikan tantangan tersendiri bagi pendidikan Islam secara umum dan pesantren secara khusus. Tantangan yang paling berat adalah hilangnya nilai-nilai kemanusian dan akhlaq al-karimah. Untuk menjawabnya, lembaga pendidikan berbasis pesantren perlu ditata kembali untuk melakukan transformasi sehingga mampu memberikan pemahaman tentang fungsi agama menjadi lebih jelas dan lebih berperan.

Pesantren dituntut untuk melakukan transformasi secara holistik agar tetap memiliki eksistensi yang kuat di tengah-tengah masayarakat global. Tentu dengan tetap menjaga nilai-nilai kepesantrenannya. Prinsip al muhafadzah ‘alal qadimisshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, menjaga tradisi pesantren yang sudah baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik perlu diimplementasikan kembali. Hal ini sebagai pondasi awal dalam rangka melakukan perubahan ke arah yang lebih sempurna.

Transformasi tersebut dapat diimplementasikan dalam berbagai macam aspek. Harapannya adalah pesantren mampu menjawab tantangan globalisasi serta sebagai wadah terhadap kebutuhan masyarakat kontemporer. Hal ini bisa dimulai dengan visi pesantren yang global sebagai manifestasi dari Islam yang rahmatan lil’alamin. Dari visi tersebut kemudian dapat diterjemahkan dalam sistem pendidikan yang ada di dalamnya, seperti sumber daya manusia (SDM), santri, manajemen, kurikulum, sistem pendanaan, jalinan kerjasama dan program-programnya. Ada istilah lain penting diperhatikan untuk melakukan tranformasi yaitu the universal principle (prinsip-prinsip universal) yang terdiri dari tiga komponen utama. Tiga tersebut adalah Human Potencial Development (HPD), Curriculum (kurikulum) dan Material (kebutuhan materi dan sarpras).   

Untuk melakukan peningkatkan mutu dan kualitas pesantren tentu dibutuhkan refleksi dan evaluasi terhadap pendidikan pesantren secara menyeluruh (holistic) dengan mengacu pada tiga komponen di atas. Human Potencial Development (HPD) yang meliputi semua orang yang menggerakkan pesantren tersebut apakah sudah benar-benar mempunyai kompetensi yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.  Guru misalnya sekarang tidak cukup hanya dengan kemampuan pedagogik saja tapi juga harus mempunyai kecakapan teknologi. Setidaknya guru harus mampu mempunyai  minimal lima skill yaitu teaching, training, practicing, coaching, dan mentoring. Lebih dari itu, guru dituntut untuk menjadi contoh (uswah) dan inspirasi kebaikan bagi para santri. Sebab ini adalah ruh yang akan menggerakkan jiwa dan perilaku anak didiknya. Ada sebuah pepatah Arab memangatakan, al-thariqah ahammu minal madah, wal mudarrisu ahammu minat thoriqah, wa ruhul mudarris ahammu minal mudarris nafsuhu. Artinya metode itu lebih penting dari pada materi pembelajaran, guru itu lebih penting dari metode tersebut, dan ruh seorang guru jauh lebih penting daripada guru itu sendiri.

Prinsip kedua adalah Curriculum (kurikulum) yang meliputi segala bentuk program dan rancangan pembelajaran yang ada di dalam pesantren. Kurikulum harus didesain secara holistik yang memadukan tiga konsep dasar pendidikan, tarbiyah ruhiyah, tarbiyah aqliyah dan tarbiyah jasadiyah. Pemahaman kurikulum klasik yang menitikberakan pada aspek pelajaran di kelas perlu direkontruksi dalam bentuk yang lebih kreatif dan bermakna (meaningful). Kurikulum mencakup semua aspek program dan kegiatan, misalnya ada core curriculum (kurikulum inti), co curriculum dan extra curriculum. Co curriculum contohnya kegiatan enrichment seperti olahraga dan seni yang bisa melatih hard and soft skill anak didik. extra curriculum contohnya kegiatan sosial kemasyarakatan yang bisa menumbuhkan jiwa empati dan kepedulian sosial anak. 

Prinsip ketiga adalah material yang meliputi penyiapan infrastruktur harus memadai dan mendukung proses pendidikan. Infrastruktur terdiri atas dua elemen, yaitu hardware (perangkat keras) dan pendanaan. Dalam konteks ini, hardware merupakan fasilitas fisik yang menunjang proses penyelenggaraan pendidikan. Fasilitas ini mencakup masjid, gedung, laboratorium, perpustakaan, kendaraan sekolah, hingga ruang kelas. Kelengkapan fasilitas dalam sebuah lembaga menjadi salah satu kunci untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas dan optimal. Adapun pendanaan lembaga haruslah memiliki komponen pendanaan yang kuat untuk menggerakkan semua lini. Namun, pendanaan ini tidaklah semata-mata bisa didapatkan dari pembayaran biaya pesantren. Pendanaan bisa diperoleh dari unit bisnis, investasi, hingga charity. 

Semua bentuk transformasi tersebut perlu didukung dengan modal kepemimpinan yang baik serta manajemen yang kuat. Maka peran pemimpin pesantren sebagai komandan utama dalam melakukan perubahan tersebut sangat besar. Dengan ini, pesantren diharapkan mampu lebih jauh lagi mengambil peran strategis dalam menyiapkan generasi yang kuat. Kuat secara mental spiritual, moral, adab dan akhlak serta mempunyai wawasan luas dan keterampilan yang mumpuni  sehingga bisa terus eksis dan bersaing di tengah arus globaliasi.

Muhammad Rajab, M.Pd.I
Director of Ma'had and Islamic Studies Tazkia International Islamic Boarding School

Share this post