Apa yang Kurang Sempurna Dari Shalat Kita?

Hari Ahad, tanggal 21 Juni 2020,  pagi tadi saya mengikuti kajian agama, melalui zoom. Kajian itu terasa sederhana, yaitu tentang shalat dikaitkan dengan akhlak. Namun demikian ternyata banyak sekali yang ikut serta. Tercatat lebih dari 1000 orang yang ikut. Melihat jumlah peserta itu menunjukkan bahwa  perbincangan tentang shalat dikaitkan dengan akhlak, ternyata  menarik banyak orang. 


Kajian ini memang agak beda dibandingkan dengan kajian Islam pada umumnya. Letak perbedaannya pada tatalaksana yang disusun. Kajian Islam  pada umumnya, nara sumber diminta untuk menjelaskan sesuai dengan tema yang akan dibahas. Jika mungkin, nara sumber diminta  terlebih dahulu untuk membuat makalah tentang apa yang akan dibahas.


Dalam kajian Islam kali ini, letak ke khasannya adalah, sebelum nara sumber menjelaskan bahasannya, dipersilahkan beberapa orang peserta kajian untuk mengajukan pertanyaan secara bebas. Bertolak dari pertanyaan itulah selanjutnya, nara sumber diminta  memberikan penjelasannya. Tentu nara sumber berusaha memenuhi atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para peserta tersebut.


Pertanyaan yang banyak diajukan terkait dengan shalat dan kaitannya dengan merawat akhlaq, ternyata isinya mirip dengan  protes.  Penanya mempertanyakan, bagaimana shalat disebut  dapat memperbaiki akhlak, sementara banyak orang shalat tetapi perilakunya tidak jauh berbeda dengan  mereka  yang tidak shalat. Banyak ditemukan olehnya, orang terbiasa shalat sejak lama tetapi  masih sering menipu, hasut menghasut, perselisih atau konflik dengan saudara, tetangga, dan kawannya sendiri. Mereka juga menyebut banyak orang yang dipenjara  ternyata juga aktif shalatnya. 


Peserta kajian Islam juga mempertanyakan, banyak negara-negara yang penduduknya beragama Islam, tetapi dari tahun ke tahun mereka terlibat perang yang tidak pernah berhenti. Anehnya peperangan  tersebut juga terjadi di antara negara Islam sendiri. Selain itu juga dilihat, banyak negara yang penduduknya beragama Islam, tetapi ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologinya tidak maju. Mereka selalu tergantung justru kepada negara yang rakyatnya  nyata-nyata bukan beragama Islam. 


Jika direnungkan secara  mendalam, pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya sangat tajam dan mendasar. Seolah-olah mereka menggugat  terhadap pernyataan dalam al Qur’an, bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Shalat disebut-sebut menjadikan orang yang menjalankannya semakin berkualitas hidupnya. Namun  pada kenyataannya, antara yang shalat dan yang tidak shalat, ternyata  tidak ada bedanya. Bahkan disebut,  banyak negara  yang penduduknya banyak yang rajin shalat, tetapi kehidupannya tetap tertinggal. 


Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dijelaskan  secara panjang lebar dan mendalam  tentang  shalat dikaitkan dengan akhlak tersebut. Dijelaskan bahwa sementara ini, shalat hanya dimaknai secara sederhana, yaitu sekedar untuk menggugurkan kewajiban dan memperoleh pahala. Shalat sebatas hanya dimaknai dari aspek syari’ahnya. Tatkala syarat dan rukunnya terpenuhi maka dianggap cukup. Hal tersebut sebenarnya tidak keliru, tetapi disebut  masih ada yang perlu disempurnakan.  Shalat harus dimaknai secara tepat dan  hendaknya dijalankan sepenuhnya,  yaitu disebut secara khusu’. Antara aspek syari’ah, thariqoh, hakekat, dan makrifatnya, kesemuanya seharusnya dipenuhi.


Melalui kajian tersebut, semua peserta diajak secara bersama-sama merenungkan secara mendalam untuk mencari apa yang kurang dari kegiatan shalat yang selama ini dikerjakan. Beberapa hal yang dibahas, sbb. : (1) Siapa sebenarnya yang shalat. Tatkala berbicara ‘aku” shalat, sebenarnya yang dimaksud “aku” itu siapa. Manusia terdiri atas jasmani dan ruhani. Tatkala mengata  “aku” atau “saya” shalat, sebenarnya  siapa yang dimaksud dengan sebutan  aku ini. Tentu yang dimaksud aku atau saya, bukan jasmaninya, tetapi adalah ruhaninya. (2) Ketika seseorang sedang  shalat, maka siapa sebenarnya yang disembah. Shalat itu seharusnya ditujukan kepada siapa. (3) kapan waktu shalat, (4) dimana shalat itu dilakukan, (5) apa yang dipersembahkan dalam shalat, dan (6) shalat itu sebenarnya dikembalikan kepada siapa. 


Di antara beberapa hal tersebut, yang dipandang  perlu mendapatkan perhatian, selain siapa sebenarnya yang sholat, adalah  tentang tempat di mana shalat itu seharusnya dilakukan. Tubuh orang yang shalat sudah jelas, yaitu bisa di rumah, di masjid, atau di mana saja. Tetapi yang benar-benar shalat, yaitu disebut "aku" atau ruhnya, tentu tidak di sembarang tempat. Ruh itu harus datang ke  tempat shalat. Tempat shalat itu ternyata hanya satu, ialah di Baitullah yg bertanda Ka'bah. Ruh itu disebut nur atau cahaya, sehingga tidak mengenal jarak, dari manapun bisa dilakukan dengan berhakekat.


Menyangkut tempat ruh ketika sedang shalat dijelaskan dalam al Qur'an di beberapa tempat. Di antaranya pada  (Q. S. 27:91-92; Q.S: 2: 125; Q.S. 8:35). Tempat shalat bagi ruh adalah di Baitullah. Di tempat yang mulia itu, ketika shalat datang  menghadap Allah dan rasulnya. Dan dengan shalat di tempat itu, maka penyakit hatinya akan dicabut (Q.S.7:43). Itulah sebabnya shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar (Q.S. 29:45).


Berbagai hal  tersebut diuraikan secara luas  dan mendalam. Hasilnya, ketika selesai kajian  semua peserta dipersilahkan  menilai terhadap shalatnya sendiri masing-masing. Tidak diperbolehkan orang menilai apa yang dilakukan oleh orang lain. Menilai dirinya sendiri saja belum tentu tepat, maka dipandang keliru bila  harus menilai orang lain. Shalat adalah perbuatan batin. Mungkin sebatas syari’ahnya, shalat  bisa dilihat orang lain, tetapi menyangkut hakekat dan apalagi aspek  ma’rifatnya, tidak akan mampu orang lain menilainya. 


Selesai mengikuti kajian, banyak peserta menjadi tahu dan sadar,  mengapa shalat yang dijalankan selama ini tidak berpengaruh pada kualitas dirinya.  Sekalipun sudah shalat,  perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan, misalnya  menyalahkan orang tanpa sebab, berselisih, iri, dengki, bermusuhan, dan bahkan perbuatan yang tidak senonoh,  tetap dijalankan. Akhirnya, mereka menjadi tahu dan menyadari bahwa  masih terdapat  aspek-aspek dalam shalat  yang belum mendapatkan perhatian, sehingga menjadikan shalatnya kurang berkualitas. 


Sholat yang berkualitas bukan saja merupakan kegiatan yang terkait dengan hal yang bersifat  fisik belaka, tetapi meliputi tiga ranah dan  seharusnya dipenuhi secara bersamaan, yaitu aspek batin atau niat, ucapan, dan perbuatan.  Sedangkan menyangkut aspek lainnya, misalnya mengapa  shalat tidak mampu menjadikan masyarakat maju, maka  jawabnya, shalat bukan untuk memperbaiki aspek yang bersifat fisik. Shalat adalah instrument atau piranti untuk menjaga apa yang ada di dalam hati, yaitu  agar menjadi damai, tenteram, dan sifat-sifat mulia lainnya. Wallahu a’lam


Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS

Share this post