Kegalauan Seorang Rektor Menyaksikan Prestasi Lulusan Kampusnya

Tidak semua rektor merasa galau  melihat lulusan kampus yang dipimpinnya. Bahkan sebaliknya, mereka merasa bangga, karena menganggap tidak ada masalah. Buktinya, ketika sedang mewisuda misalnya, para rektor pasti mengungkapkan kebanggaannya. Bahwasanya kampus yang dipimpin telah berhasil meluluskan para mahasiswanya, menjadi sarjana di berbagai strata yang diselenggarakan. Kebanggaan itu juga ditunjukkan lewat prestasi lulusannya, mulai dari indeks prestasi yang diraih, ketepatan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan studi, dan lain-lain.  


Namun  pada suatu kesempatan dalam perbincangan terbatas, ada saja rektor yang merasa galau terhadap lulusan perguruan tinggi yang dipimpinnya. Dinilai olehnya,  para lulusannya,  sekalipun sudah diwisuda, sudah diberi ijazah, transkrip, dan lainnya, masih dianggap mengkhawatirkan. Diketahui bahwa lulusan yang dihasilkan masih  belum mampu bersaing memperebutkan lapangan pekerjaan yang semakin keras. Kelulusan mereka dinilai baru pada taraf formal. Mereka sudah mengikuti semua program  dan juga telah dinyatakan lulus. Tetapi sekali lagi, kelulusannya, diakui baru setingkat formal. 


Rektor dimaksud mengakui secara terus terang bahwa lulusan yang dihasilkan dari kampusnya baru mampu atau pintar berkata, tetapi belum terampil mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukannya. Mereka sudah mampu membuat makalah, berdiksusi, aktif dalam mengikuti seminar, tetapi jika diberi tugas menyelesaikan persoalan, sekalipun persoalan dimaksud di bidang keilmuannya, masih belum sepenuhnya mampu. Atas dasar penglihatannya ini, dia merasa galau. Mempertanyakan apa sebenarnya yang kurang dari pendidikan yang diselenggarakannya  selama ini. 


Mendengarkan apa yang disampaikan oleh kawan dekat yang kebetulan menjadi rector ini, saya justru memberi komentar positif. Saya mengatakan bahwa beruntung lulusannya sudah mampu berbicara, dan bertambah bersyukur telah  mampu menulis. Sebab di tengah masyarakat, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi yang sebatas berbicara saja belum  meyakinkan. Tidak sedikit lulusan perguruan tinggi belum mampu mengorganisasikan  pikirannya hingga mudah dipahami dan apalagi menjadikan orang menjadi yakin atas pandangannya. 


Melalui diskusi informasl, saya tambahkan penjelasan, bahwa jika para lulusan sudah mampu berbicara secara runtun dan jelas, sebenarnya  mereka sudah berprestasi. Mengapa demikian, oleh karena proses belajar mengajar sekarang baru berorientasi pada berlatih  untuk mengata dan menulis. Kemampuan  mengata diperoleh dari berdiskusi yang ditugaskan oleh dosennya. Begitu pula kemampuan menulis diperoleh dari mengerjakan tugas membuat makalah.  Dalam perkuliahan sehari-hari yang dikerjakan adalah tentang dua hal tersebut. 


Oleh karena kegiatan riset sangat terbatas dengan berbagai alasannya, apa yang dikatakan dan ditulis  oleh mahasiswa juga belum tentu diketahui  bendanya. Mereka berkata tetapi benda yang dikatakan belum tentu sudah dikenali. Bagi mereka yang penting bisa berkata dan juga bisa menulis. Apa yang dikatakan dan  ditulis  diperoleh dari membaca buku-buku yang ditemukan, baik dari perpustakaan, dari google, atau sumber lainnya.


Belajar dengan cara tersebut, jika mahasiswa berhasil menjadi pintar berbicara dan menulis sebenarnya sudah berprestasi luar biasa. Masih banyak lulusan perguruan tinggi yang belum  mampu  menguasai  kedua ketrampilan  tersebut. Mereka menyandang ijazah, dan bahkan tidak saja ijazah S1, bahkan  S3, tetapi kemampuannya belum tampak sebanding dengan ijazah dan gelar yang disandangnya. Seorang teman  yang sudah menjadi guru besar dan bahkan pernah menjadi rector perguruan tinggi Islam mengatakan bahwa pernah mendengar khutbah lulusan S3 perguruan tinggi Islam, sekedar membaca khutbah saja,  tidak  kurang dari  75 % bacaannya masih perlu diperbaiki.


Jika gambaran tersebut benar, kualitas perguruan tinggi memang memprihatinkan. Pertanyaan mendasar dan fundamental yang perlu dijawab adalah mengapa lulusan perguruan tinggi belum bisa ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zamannya. Siapa sebenarnya yang salah. Padahal dilihat dari  dosen yang mengajar jumlah dan kualitasnya sudah cukup  memadai. Sarana dan prasarana pendidikan sudah meningkat jauh dibanding 10 tahun yang lalu. Baik ruang belajar, sarana belajar, sumber belajar, dan lain-lain, semuanya terasa telah terpenuhi. Lalu apa sebenarnya yang kurang    dan harus segera diperbaiki. 



Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Bisa jadi karena faktor mahasiswanya sendiri, justru karena teknologi, dan juga proses belajar mengajar yang dikembangkan.  .Mahasiswa yang tidak memiliki motivasi dan atau niat yang  benar, tidak akan menghasilkan prestasi yang diinginkan. Bahkan  kehadiran  teknologi modern, jika tidak tepat menggunakannya justru mengganggu semangat belajar mahasiswa.  Mahasiswa yang sehari-hari hanya diajak untuk mendengarkan kuliah, tanpa diberi tantangan yang cukup, tidak akan semakin cerdas. Ketika sehari-hari mereka hanya mendengarkan dosen memberi kuliah, maka kemampuan yang dimiliki setelah lulus juga hanya mampu mendengarkan. 


Para lulusan yang  tidak mampu  bekerja hingga rektornya merasa galau tersebut,  karena ketika belajar di kampus, mereka  tidak dilatih bekerja. Sehari-hari hanya aktif mendengarkan kuliah, berdiskusi, seminar, dan sejenisnya.  Padahal  agar  mampu bekerja, seseorang  harus berlatih dan mengalami bekerja. Itupun harus dilakukan secara berulang-ulang. Mereka harus pernah mengalami kesalahan, tahu salahnya, dan mampu memperbaiki kesalahannya. 


Belajar seperti digambarkan tersebut, harus dilakukan di laboratorium, di bengkel, dan atau di tengah masyarakat. Manakala mereka telah memperoleh pengalaman sebagaimana digambarkan tersebut, maka berbagai kemampuan, misalnya berkomunikasi, membangun kepercayaan diri, bersosialisasi, dan lain-lain, akan diraih dengan sendirinya. Maka pasca covid 19 ini, banyak hal yang harus diubah, agar perguruan tinggi  tidak hanya menghasilkan lulusan yang menjadikan rektornya sendiri merasa galau. Wallahu a’lam


Prof. Dr. Imam Suprayogo
Guru Besar UIN Malang
Ketua Dewan Pakar Tazkia IIBS

Share this post