Mengelola Pendidikan Islam Secara Holistik-Integratif

Manusia dibekali dengan segenap potensi supaya mampu menjalankan amanahnya sebagai pemakmur bumi (khalifah fi al-ardh). Allah juga telah menciptakan manusia dengan dua dimensi penting, yaitu dimensi material (jasadiyah) dan dimensi immaterial (ruhaniyah) termasuk di dalamnya ada ruh, jiwa, akal, dan sebagainya. Allah telah membekali manusia dengan pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai alat untuk mengoptimalkan potensi manusia tersebut.

Tarbiyah (pendidikan) dalam hal ini memegang peranan penting dalam rangka menumbuhkembangkan segenap potensi dan bakat yang telah Allah titipkan kepada manusia. Maka dari itu Allah SWT mengutus pada setiap umat manusia untuk mendidik manusia agar mampu mengenal Rabb-nya. Termasuk juga Allah mengutus Rasulullah Muhammad SAW untuk mengajarkan umat manusia akhir zaman tentang cara mengoptimalkan potensi dirinya agar menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) melalui wahyu al-Quran dan as-Sunnah.

Dalam rangka membangun manusia yang utuh dan sempurna maka dibutuhkan proses pendidikan yang utuh dengan konsep yang holistik dan integratif. Apalagi pendidikan saat ini cenderung lebih menitikberatkan pada aspek kemampuan intelektual saja. Padahal pendidikan bukan hanya soal membangun kecerdasan akal saja tapi lebih jauh dari itu pendidikan sebagai upaya untuk membentuk karakter dan sikap emosional dan spiritual yang baik. Bahkan yang ke dua dan ketiga ini yang penting. 

Keberhasilan pendidikan juga tidak dapat hanya diukur dengan mampu mengerjakan kumpulan soal-soal di atas kertas, lebih dari itu keberhasilan pendidikan dapat dilihat dengan bertambah kuatnya iman kepada Allah dan kematangan akhlak. Oleh karena itu, tentu proses pendidikan tidak dapat dilakukan secara parsial. Pendidikan idealnya didekati dengan konsep keutuhan (holistik) dengan model integrasi antara satu komponen dengan komponen lainnya. 

Pendidikan holistik-integratif ini menjadi sebuah tantangan sekaligus harapan. Tantangan maksudnya dalam menjalankan dan melaksanakannya tentu membutuhkan keseriusan, kesungguhan dan kematangan konsep serta kompetensi sumber daya manusia yang mumpuni dan kompeten. Di balik itu model ini tentu juga menjadi harapan untuk menciptakan manusia yang kuat dan utuh di mana hingga saat ini pendidikan dinilai gagal dalam menciptakan generasi yang unggul khususnya dalam aspek pembentukan karakter emosional dan spiritual.

Konsep pendidikan holistik merupakan suatu model pendidikan yang membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Jika dicermati, istilah holistik sendiri berasal dari  bahasa Inggris dari akar kata “whole” yang berarti keseluruhan. Berpandangan holistik artinya  lebih memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian, bercorak  sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanik, dan non-linier (Heriyanto, 2003: 12). Di samping itu,  istilah holistik juga diambil dari kata dasar heal  (penyembuhan) dan health (kesehatan). Secara etimologis memiliki akar kata yang sama dengan istilah whole (keseluruhan) (Webster, 1980: 643). Hal ini  mengindikasikan bahwa berpikir holistik berarti berpikir sehat.  Dalam al-Quran dijelaskan bahwa manusia diciptakan dengan bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Tin:4).

Bentuk yang sebaik-baiknya tersebut, menurut Ibnu Thufail,  merupakan ketiga aspek fundamental dalam pendidikan, yaitu ranah kognitif (al-’aqliyyah), afektif (al-khuluqiyyah al-ruhaniyyah), maupun psikomotorik (al-’amaliyyah). Ketiganya merupakan syarat utama bagi tercapainya tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia seutuhnya dengan memadukan pengetahuan alam melalui hasil penelitian, dan pengetahuan agama yang berdasarkan wahyu melalui para Nabi dan Rasul, sehingga mewujudkan sosok yang mampu menyeimbangkan kehidupan vertikal dan kehidupan horizontal sekaligus.

Pendidikan holistik sama seperti yang digambarkan oleh Ahmad Tafsir yang merumuskan tentang ciri muslim sempurna yaitu (1) Jasmaninya sehat serta kuat, dengan ciri-ciri; sehat, kuat dan berketerampilan. (2) Akalnya cerdas serta pandai, dengan ciri-ciri; mampu menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat, mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah, memiliki dan mengembangkan sains, memiliki dan mengembangkan kemampuan berfikir filosofis dan sistematis. (3) Hatinya takwa kepada Allah, dengan ciri-ciri; sukarela melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, hati yang berkemampuan berhubungan dengan alam gaib. 

Berdasarkan beberapa pendapat para tokoh pendidikan di atas idealnya pendidikan Islam dikelola secara holistik dan integratif. Sebab tujuan utama pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk membangun manusia yang kamil (sempurna). Maka tak ada pilihan lain bagi lembaga pendidikan Islam kecuali mengarahkan pada aspek pembentukan karakter dan kemampuan intelektual secara holistik sesuai dengan kadar dan kemampuan serta jenjang masing-masing.

Integrasi

Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dengan model integrasi/terpadu, yaitu suatu perpaduan bisa dalam bentuk sistem, kurikulum (materi) ataupun metode dan strategi. Model integrasi ini sebenarnya telah lama menjadi bahan diskusi dan perbincangan di kalangan ulama atau intelektual muslim. Hal ini muncul karena merajalelanya sekularisasi ilmu atau pemisahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Di antara tokoh-tokoh yang gencar dalam mempopulerkan istilah integrasi ilmu ini khususnya ilmu agama adalah Naquib Al-Attas  dan Ismail Al-Faruqi dengan konsep islamisasi ilmunya.

Integrasi ini diharapkan dapat menciptakan keutuhan ilmu itu sendiri. Bahwa antara satu ilmu dengan ilmu yang lain ada saling keterkaitan. Dalam konteks pendidikan Islam saat ini integrasi yang menarik untuk dikembangkan adalah model integrasi al-Quran, hadits, dan sains. Integrasi ini dilakukan dalam setiap materi pembelajaran. Untuk pelajaran yang dikelompokkan dalam pembelajaran sains maka diintegrasikan dengan al-Quran dan al-Hadits atau nilai-nilai keislaman yang berkaitan dengan mata pelajaran tersebut. Sementara untuk pelajaran-pelajaran agama akan diintegrasikan dengan sains dan nilai-nilai kontekstualitas dari materi yang diajarkan tersebut. 

Dengan memadukan sains dengan al-Quran dan hadits diharapkan dapat memunculkan sebuah penghayatan terhadap ilmu pengetahuan (immersion of knowledge) itu sendiri, bahwa semua yang ada di alam ini termasuk di dalamnya peristiwa serta kejadian alam merupakan ayat-ayat Allah. Penghayatan inilah yang akan menambah kedekatan kita dengan Allah SWT serta memperkuat rasa takut kepada Allah, sebab kita mengetahui dan menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.  Sebaliknya, mengintegrasikan pelajaran al-Quran, hadits, dan ilmu agama lainnya dengan sains dapat memperkuat keimanan kepada Allah SWT, sebab kita bisa paham bahwa apa yang disampaikan Allah berupa al-Quran atau hadits dapat dibuktikan secara nyata di alam jagad raya ini.

Muhammad Rajab
Director of Ma'had and Islamic Studies Tazkia International Islamic Boarding School

Share this post