Pesantren Menghadapi Era New Normal

Sistem pendidikan pesantren berbeda dengan sistem pendidikan berbasis sekolah. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini menjadikan pendidikan agama dan akhlak sebagai basis utama dalam proses pendidikannya. Pesantren juga memiliki sistem asrama sebagai pusat penanaman adab dan kemandirian yang tidak dimiliki oleh sekolah.

Di awal berdirinya, pendidikan berbasis pesantren dibangun di atas sistem salaf (tradisional). Sistem ini memiliki lima ciri utama yang membedakannya dengan pendidikan pada umumnya,  yaitu pondok (asrama), kyai, santri, masjid, pengajaran kitab. Pondok sebagai tempat tinggal utama para santri selama proses belajar. Di dalamnya ada seorang kyai yang menjadi figur utama, pengajar dan sekaligus sebagai pimpinan (pengasuh). Sementara masjid dijadikan sebagai pusat pembinaan spiritual para santri dan pengajaran kitab. Karena pada awal kemunculannya memang pesantren tidak menggunakan kelas sebagai tempat pembelajaran.

Seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman, pesantren terus berkembang mengikuti irama dinamika kehidupan masyarakat. Jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Sistemnya pun juga terus mengalami perubahan dan perbaikan mengikuti kebutuhan masyarakat serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip dasar pesantren. Fleksibilitas pesantren dalam menyesuaikan dengan Lingkungan inilah menurut Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya yang menjadi 'rahasia' kesuksesan pesantren untuk tetap eksis dan menjadi pilihan masyarakat hingga saat ini.

Oleh karena itu, muncullah sistem pendidikan pesantren dengan wajah berbeda dan model baru seperti sistem khalaf (modern). Sistem modern ini merupakan jawaban atas tantangan dan kebutuhan masyarakat. Walaupun demikian, sistem modern tidak serta merta meninggalkan pondasi-pondasi pesantren yang dikembangkan dalam model tradisional.

Sistem modern ini hanyalah melakukan modifikasi dan penambahan-penambahan apa yang tidak ada sebelumnya. Misalnya, pembelajaran yang pada model salaf hanya dilakukan dengan bentuk halaqah di masjid-masjid atau di surau-surau, pada sistem khalaf sudah dilaksanakan di kelas-kelas seperti halnya di sekolah. Metode pengajaran tidak hanya bandongan dan wetonan tapi sudah berkembang dengan metode baru seperti diskusi, demonstrasi dan lainnya. Pesantren khalaf sudah mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam kurikulumnya di mana pada sistem sebelumnya hal ini tidak ditemukan.

Tidak berhenti di situ, sistem pendidikan pesantren terus melakukan modifikasi dan penyesuaian. Melihat kebutuhan masyarakat akan pendidikan formal maka kemudian pengurus lembaga atau yayasan sudah mulai memasukkan pendidikan formal (sekolah) seperti SMP/SMA atau yang sederajat ke dalam lembaganya atau belakangan kita kenal dengan istilah islamic boarding school, yang pada awalnya hanya pesantren.

Walaupun pesantren terus mengalami perubahan bukan berarti pesantren dengan sistem salaf kemudian menjadi tidak ada. Perkembangan inilah yang menjadikan khazanah pendidikan pesantren semakin luas dan beragam. Dengan ini masyarakat Indonesia bisa menentukan pilihan pesantren yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.

Tantangan

Kesuksesan pesantren dalam menjawab perubahan demi perubahan tersebut perlu diapresiasi. Namun, bagaimana jadinya jika pesantren dihadapkan pada kondisi krisis pandemi Covid-19 dengan tata kehidupan normal baru (new normal) seperti saat ini?. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren. Sebab tantangan yang satu ini bukan hanya mengancam terhadap eksistensi sistem pesantren itu sendiri, tapi juga pada keselamatan jiwa para santri dan pengajarnya.

Sejak pertengahan Maret lalu sebagian besar pondok pesantren telah memulangkan para santrinya ke rumah masing-masing. Hal ini dilakukan sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Pesantren kami sendiri, Tazkia IIBS telah memulangkan para santri ke rumah mereka sejak awal Maret dan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara online. Dan sampai saat ini para santri masih belum kembali ke pesantren sembari menunggu kebijakan pemerintah tentang hal ini.

Bagi dunia pesantren PJJ dalam jangka waktu yang panjang pastinya akan mengganggu proses pendidikannya. Hal ini berbeda dengan sekolah yang memang tidak memiliki sistem asrama sebagai basis pembentukan karakter. Karena itu, ada dua kemungkinan yang perlu diantisipasi dan disiapkan oleh manajemen pesantren sebagai upaya untuk menjawab persoalan dan tantangan tersebut.

Pertama, para santri kembali ke pesantren dengan situasi new normal. Dalam kondisi ini tantangan manajemen pesantren adalah menyiapkan standar hidup di pesantren sesuai dengan aturan new normal itu sendiri. Misalnya, mendesain interaksi antara sesama santri dan guru secara berjarak (physical distancing) seperti tempat shalat, tempat tidur, tempat duduk di kelas, tempat kajian (ta’lim) dan tempat makan.

Selain itu, standar kebersihan dan higienitas perlu diperhatikan lebih serius. Hal ini bisa dilakukan dengan menyiapkan tempat cuci tangan, sabun, hand sanitizer, dan masker yang memadai. Lebih dari itu, kontrol dari pengasuh, manajemen, para guru dalam memastikan standar kehidupan new normal di pesantren perlu diperketat.

Kedua, para santri tetap di rumah sambil menunggu situasi dan kondisi membaik. Dalam situasi seperti ini tantangannya adalah dalam proses pembelajaran dan penanaman karakter. Dalam pembelajaran PJJ manajemen pesantren harus memastikan jaringan internet dan komunikasi berjalan dengan baik. Sebab ini adalah alat utama (main tools) dalam melaksanakan PJJ. Yang ini nampaknya butuh upaya yang optimal dan dukungan pemerintah mengingat jumlah pesantren sebanyak 28.000 di Indonesia. Sebab tidak semua pesantren memiliki ketersediaan sarana dan prasarana dengan teknologi IT yang memadai.

Adapun untuk penanaman karakter para pengasuh dan guru di pesantren harus mengajak kerjasama dengan wali santri di rumah secara intensif. Hal ini sebagai upaya untuk tetap menjaga tradisi atau kebiasaan yang sudah ditanamkan di pesantren. Misalnya, dalam hal kontrol ibadah seperti shalat dan puasa, kegiatan kemandirian di rumah seperti mencuci baju, membantu membersihkan tempat tinggal dan lain-lain. Namun demikian semua proses yang dilakukan orang tua di rumah tetap berada dalam kontrol pihak pesantren.

Muhammad Rajab
Director of Ma'had and Islamic Studies Tazkia International Islamic Boarding School

timesindonesia

Share this post